17. Nomor WhatsApp

7.6K 464 9
                                    

"I feel butterflies in my belly. Do you feel it too?"

Aliya Maharani~ si Jomblo yang sedang jatuh cinta.

***

Anggara Mahardika: Jadi kapan kamu bisanya?

Aku terhenyak menatap layar ponsel setelah membaca pesan dari Angga. Semalam aku lupa segalanya. Begitu sampai di kosan, tanpa ganti baju dan tanpa babibu, aku memejamkan mata di atas kasur. Tak kuasa aku menahan letihnya diri setelah menonton Danila  beraksi di atas panggung.

Aku buru-buru memakai otakku yang pas - pasan ini untuk mengingat jadwal hari ini. Nihil, ini masih bulan pertama kuliah di semester ganjil, sudah pasti aku tidak ingat. Aku segera membuka map tempat aku menyimpan jadwal. Ketemu. Untung saja hanya ada kuliah sampai jam sepuluh. Baiklah, aku akan bilang pada Angga bahwa setelah jam sepuluh aku bebas, tidak ada kuliah.

Aku melirik jam di pojok kiri ponselku. Tertulis angka nol tujuh, titik dua, dua lima. Alias pukul tujuh lewat dua puluh lima menit. Sedangkan kuliahku sudah dimulai dua puluh lima menit yang lalu.

Aku hanya menghela napas, kemudian membalas pesan Angga setelah memutuskan untuk membolos.

Aliya Maharani: Hari ini bisa jam berapa aja deh.

Beberapa menit kemudian masuk pesan dari Angga.

Anggara Mahardika: Okay, jam 9 ya. Ada nomer whatsapp nggak?

Ya ampun, ini seriusan Angga minta nomer whatsapp aku? Wah ini sih namanya kayak dapat durian runtuh. Gayung bersambut, cinta pun bersemi. Lalala, bahagia sekali diriku.

Tapi ingat, harus jual mahal dulu. Jangan jadi wanita yang terlalu mudah untuk didapat. Nanti dia tidak bersyukur setelah mendapatkanmu. Padahal ini aku yang sudah berjuang untuk mendapatkan hati Angga.

Aliya Maharani: Buat apa?

Begitu aku membalasnya. Kan aku harus tahu untuk apa dia meminta nomorku dan jual mahal sedikit saja.

Anggara Mahardika: Buat share loc. Emang di DM ada share loc?

Angga sudah membalas. Kemudian aku mengirim nomor WhatsApp-ku.

Aku bangkit dari tempat tidur, lalu segera mencari baju yang kencanable. Yah walaupun ini sebenarnya bukan kencan, tapi boleh kan aku menganggapnya begitu? Boleh kan?

Ting! Satu pesan masuk di whatsapp.
Aku meletakkan baju di kasur, kemudian bergegas menyambar ponsel. Angga mengirim sebuah alamat, dan setelah kubaca, ternyata alamat speedy corner di dekat kampus. Ini sih jalan kaki doang juga bisa. Ku kira mau kencan ke mana begitu.

Aku meletakkan ponsel di atas kasur, lalu kembali mengambil baju. Kalau tempat bertemunya di speedy corner, ya nggak bisa pakai baju yang terlalu kencanable. Harus yang super simpel tapi dandanan tetap harus kuat dan meyakinkan.

Aku memilih kemeja lengan panjang warna hitam dengan motif bunga-bunga dan celana jeans warna biru muda. Untuk sepatu aku memakai sepatuku biasanya, sneaker warna putih.

Setelah menyiapkan semuanya, aku bergegas ke kamar mandi untuk mandi. Tidak perlu pakai lulur, yang penting keramas. Yang penting wangi dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

***

Pukul delapan tiga puluh lima menit, aku berjalan menuruni tangga kosan dengan menenteng totebag di tangan kiriku. Kemudian aku hanya perlu berjalan beberapa ratus meter untuk sampai di speedy corner yang dikirim oleh Angga. Hatiku senang bukan kepalang, tapi tetap saja ada perasaan gugup yang harus kuhalau kuat-kuat. Sudah berbulan-bulan, tidak boleh ada grogi yang bikin gaya jadi mati.

Hanya butuh waktu lima menit dengan berjalan kaki, aku sudah sampai di speedy corner. Aku mengedarkan pandangan. Ada tiga meja  panjang berjajar di speedy corner ini. Kutemukan Angga di ujung meja yang tengah. Dia memakai kaos warna hitam. Aduh warna baju saja sudah sama begini, masa hatinya belum merasakan hal yang sama? Semoga sudah ya, Angga.

Setelah menemui satpam untuk membeli voucher dan minuman dingin, aku menuju ke meja Angga.

"Hai Ngga," sapaku sambil tersenyum, lalu duduk di depannya. Angga mendongak, kemudian menganggukkan kepala.

"Udah lama?" tanyaku sambil menyodorkan satu botol minuman dingin padanya.

"Belum kok," jawabnya sambil meraih botol. Aku manggut-manggut sambil tersenyum. Canggung.

"Ya udah, ini gimana biar aku bisa naik rank?" tanyaku memecah kecanggungan.

"Ya login dulu, nanti aku bantuin," kata Angga sambil menatapku. Ah, akhirnya, setelah sekian lama, aku ditatap juga oleh dua bola mata yang indah itu.

"Tapi bukannya kamu udah tinggi ranknya?" tanyaku sambil membuka minumanku.

"Aku punya akun yang ranknya masih master kok," jawabnya singkat.

"Oh ya? Wah, jadi kamu punya dua akun?" aku antusias. Ini benar-benar antusias, bukan agar kelihatan antusias. Sayangnya Angga hanya mengangguk saja.

"Ayo login dulu," kata Angga sambil memencet-mencet ponselnya. Aku pun segera membuka aplikasi. Lalu kami mulai bermain mobile legend dan jadi teman satu tim. Keren kan?

Akhirnya, impianku untuk dikenal oleh Angga tercapai juga. Saat ini aku sedang duduk di depannya, bahkan bermain game bersama. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan wahai Aliya Maharani?

***

Waktu berlalu sangat cepat. Sudah dua jam aku duduk di speedy corner bersama Angga. Namun sayang, Angga harus pergi karena ada kuliah siang. Sementara aku, mau tidak mau harus kembali ke kosan. Tidak mungkin aku pergi ke kampus. Sudah tidak ada perkuliahan, anak-anak pasti juga sudah bubar.

Ting! Satu pesan di whatsapp masuk. Nomor tidak di kenal.

081234567xxx: Hai Aliya. Ini Lio, masih ingat?

Lio? Lio yang semalam nonton konser  Danilla denganku dan Sindi?

081234567xxx: yang semalam nonton Danilla.

Nah kan benar. Aku menyimpan nomornya, kemudian membalas pesannya.

Aliya Maharani: Iya, ingat kok. Kok bisa dapat nomorku?

Lio: Kan aku kerja di FBI. Hehe

Aliya Maharani: FBI? Fakultas Bodong Indonesia? Hahaha

Lio: Ah boleh juga. Hahaha. Kamu sibuk apa?

Aliya Maharani: Nggak ngapa-ngapain nih. Gabut parah.

Lio: Jalan yuk.

***

TBC

See you di part berikutnya.

Maaf ya agak lama update, asli aku lagi bingung banget.

Untouchable [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang