30. Nasihat Sahabat Di Malam Minggu

6.8K 377 4
                                    

"Senior lo ada yang ganteng nggak Ra?" tanya Sindi pada Rara.

Kami bertiga berbaring di atas kasur di kamar Rara. Lagu-lagu bertemakan move on diputar dari ponsel, dihubungkan ke speaker kecil yang ditaruh di atas meja.

"Heh, senior gue itu cuma dua. Bu Asih sama mbak Dini. Mana ada yang ganteng?" balas Rara sambil memainkan tangannya mengikuti irama
musik.

"Ya masa orang puskesmas cuma Bu Asih sama mbak Dini?" Sindi masih bertanya.

"Ya gue kenalnya baru itu. Hehe," Rara meringis.

"Gila, udah sebulan kenalnya cuma dua orang doang?" aku terheran-heran.

"Emang lo kenal semua staff di giant?" kini Sindi mencecarku.

"Ya nggak semua sih. Tapi lebih lah kalau dua orang. Orang HRD saja empat, belum lagi orang gudang, belum lagi staff yang lain. Lagi pula nih ya, kerjaanku ngrekap absen sambil belajar ini itu. Nggak mungkin aku nggak kenal sama orang lain," aku menjelaskan.

" Terus, terus, ada yang ganteng nggak?" Sindi melongokkan kepalanya agar bisa melihatku.

" Otakmu Sin, cowok terus," aku meledeknya.

" Dari pada otakmu, Angga terus. Udah gitu sebulan nggak ada kabarnya lagi," jleb, menusuk ke hatiku.

"Eh, masa sih, sebulan nggak ada kabar?" kini Rara bertanya dengan nada tidak percaya.

Aku enggan menjawab. Sungguh itu kenyataan yang menyakitkan. Rasanya seperti aku dicampakkan setelah pernah diberi harapan.

"Kalau diem berarti bener," Sindi menyimpulkan. Aku memiringkan badan ke kiri, membelakangi mereka berdua.

"Kau tak tahu betapa rapuhnya aku.
Masih merasa luka di masa lalu. Ku pernah mencintai sepenuh hati. Dan ku terluka, luka membekas.
Bekas membuat, buat selamanyaaaa!" aku mengikuti lagu yang diputar oleh Rara. Move on apanya, ini malah bikin patah hati gara-gara lagunya Joeniar Arief.

"Ya udah, lupain aja si Angga. Lagian tiba-tiba ngilang gini," kata Sindi.

"Ngomong doang emang gampang," aku membalasnya.

"Ya gimana, lo dikasih tahu dari kemarin-kemarin juga nggak ngedengerin sih," Sindi mengingatkanku kembali.

Aku merubah posisiku menjadi duduk, kemudian menghadap ke arah Sindi.

"Kau tak tahu betapa rapuhnya aku," aku kembali bernyanyi dan mendramatisir. Sindi melempar bantal ke arahku.

"Gemblung," katanya dengan logat Jakarta.

"Berat, sumpah berat. Ngelupain orang yang aku usahakan setelah sekian purnama itu berat," kataku pada Sindi. Rara tertawa.

"Sekian purnama. Udah kayak anak indie aja lo sekarang," Rara kembali tertawa.

"Serius ini. Bayangin lah kalau jadi aku. Ya kamu sih enak Ra, udah ketemu Ares. Ibarat orang jatuh, tapi jatuhnya tuh di kasur. Ada yang siaga menerima. Lah aku? Boro-boro kasur, aspal campur jalanan berbatu itu lho," aku berargumen. Sulit melupakan Angga.

" Sebenarnya ada kasur yang siap nerima lo, Al. Tapi lo nggak mau," kata Sindi.

" Siapa?" Rara kepo.

" Lio," jawab Sindi santai.

" Oh iya sih, lo udah pernah cerita."

"Iya Al, kenapa nggak sama Lio aja?" Rara menanyakan hal yang aneh.

"Gini deh, memangnya kalau Lio suka sama kamu, kamu juga mau sama Lio?" tanyaku pada Rara. Ia menggeleng. Aku menjentikkan jari.

"Nah kan, sama kan?" aku menunjukkan hal ini pada Sindi.

Untouchable [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang