28. Jeratan Sahabat Laknat

7K 438 27
                                    

"Sahabat itu harusnya susah senang bersama-sama. Bukan nyusahin sahabatnya."

Sindi Meiriska ~ Sahabat yang memaksa

****

"Please Al, please," Sindi menangkupkan kedua tangannya di depan mukanya.

"Enggak mau, kenapa sih maksa banget?" aku membantahnya.

Sejak tadi dia datang ke kosanku, dia sudah membahas bagaimana jika aku jadian dengan Lio saja. Padahal rencana awal kami akan pergi belanja membeli beberapa potong kemeja yang akan dipakai untuk magang beberapa minggu lagi.

"Ya habisnya lo sama Angga juga dicuekin kan? Gue cuma pengen meringankan beban diri lo, Al. Biar lo bahagia dengan sentuhan cinta," Sindi menurunkan tangannya.

"Yang ada nambahin beban hidup kalau aku jadian sama mantan pacarmu," aku bangkit dari kasurku.

"Enggak akan, Lio itu orangnya humoris, lucu, baik, lo bakal seneng hidup sama dia. Nggak dingin kayak Angga."

"Ya kalau baik, kenapa kalian putus?" skakmat. Aku duduk di kursi depan meja belajar, kemudian mengambil kalender yang sudah kutandai dengan hati berwarna pink sejak dua minggu yang lalu.

"Ya kan karena keadaan," Sindi masih berkilah.

"Keadaan macam apa? Harusnya kalau memang pacarmu itu sayang, dia nggak akan tergoda dengan aku. Apalagi aku nggak pernah genit-genit apa pun sama dia. Itu namanya dia nggak bisa mengendalikan diri," aku mematahkan segala argumen Sindi.

"Duh, yaudah deh. Tapi lo harus pikirin lagi tawaran gue," Sindi sepertinya kehabisan ide. Aku tidak menjawab. Buat apa, toh aku tetap tidak ada niatan memberikan kesempatan pada Lio.

"Lo masih nggak dikabarin kan sama pangeran lo?" tanya Sindi dengan nada memojokkan. Aku diam.

Aku dan Angga memang sudah tiga hari ini tidak berkontak via whatsapp. Terakhir kami bertemu ya dua minggu lalu itu, saat Angga mengajakku ke tempat makan. Setelah itu kami hanya sempat dua kali saling menyapa di lapangan basket dan berkirim pesan.

"Kan, gue bilang juga apa," Sindi mengadu kedua telapak tangannya.

"Dia sibuk juga kali ah. Kita aja dua minggu lagi magang. Dia pasti juga sama. Lagi pula anak teknik lebih complicated kan," aku membela diri agar tidak terlihat terlalu menyedihkan.

"Ya udah, kita adi berangkat apa enggak nih?" aku mengalihkan pembicaraan, agar Sindi tidak menderaku dengan berbagai pertanyaan yang sebenarnya juga selalu keluar di kepalaku.

****

"Habis ini makan dulu yuk," Sindi mendorong pintu kaca toko tempat kami membeli baju.

"Makan apa?" aku mengikuti di belakangnya.

"Gue pengen makan yang pedes, mi setan gimana?" aku mengangguk, menyetujuinya.

Kemudian kami mengendarai motor menuju jalan Bromo. Butuh sekitar lima belas menit dengan kecepatan sedang untuk mencapai jalan Bromo. Karena kami berada di jalan Dieng.

"Ini kita sudah selesai semua kan persiapannya?" tanya Sindi saat kami berhenti di depan lampu merah. Aku mengiyakan. Memangnya mau beli apa lagi? Kami sudah punya kemeja dan rok yang akan dipakai untuk magang.

"Sepatumu udah ada?" aku sih tidak pernah melihat Sindi memakai sepatu kantoran warna hitam.

"Harus banget pakai pantofel?" Sindi menjalankan motornya lagi.

"Ya menurut ngana? Kita ini magang, bukan nonton konser lho," aku mengingatkan.

"Gue sebenarnya ada sih, cuma males aja makenya. Nggak gaul banget, kayak emak-emak."

Untouchable [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang