22. Bucin

7.5K 520 21
                                    


"Ndut, kamu ada apa to sama Angga?" tanya Via sambil mengeringkan rambutnya dengan Handuk. Aku yang duduk di depan meja belajar hanya menoleh dan menyangga daguku dengan tangan.

"Kenapa memangnya?" aku heran saja, kok bisa Via tahu aku dan Angga ada apa-apa.

"Ya dia nanyain kamu terus dari kemarin," kata Via lalu duduk di kasurku.

"Nanyain gimana?" aku makin penasaran. Seingatku beberapa hari yang lalu Angga bilang aku ini mengganggu.

"Ya gitu, kamu ke mana, kok nggak dateng lagi kalau aku latihan. Terus kadang-kadang nanyain kamu pulang jam berapa hari ini. Udah gitu kadang dia lihat-lihat terus ke fakultasmu. Jadi nggak konsen gitu lah latihannya."

Sebentar, gimana? Angga seribet itu nanyain aku? Ini Angga berkepribadian ganda atau bagaimana?

"Masa' sih?" aku masih tidak percaya.

"Ih, beneran. Kenapa? Kalian berantem?"

Memangnya bisa ya, kalau yang seperti tempo hari itu disebut berantem?

"Enggak sih," jawabku ragu-ragu. Aku tidak yakin yang kemarin itu bisa disebut berantem, marahan, atau apa lah seperti pasangan pada umumnya. Iya, tahu kok, belum jadi pasangan.

"Kok tumben Angga kayak gitu, kamu udah nggak hubungan lagi sama dia?" tanya Via. Aku membalik badan, tidak mau menjawab pertanyaan Via.

"Woy, kenapa?" Via berdiri mendekatiku.

"Udah nyerah sama Angga?" tanya Via lagi.

"Nggak tahu ah, Vi. Makin pusing aku mikirkan Angga. Lagi pula nih ya, dia itu maunya apa sih, kemarin bilangnya aku mengganggu, tapi sekarang kamu bilang dia nanyain aku," aku jadi kesal dengan Angga.

"Oke, kalian berantem," Via kembali duduk di kasurku.

***

Hari sudah menjelang petang. Banyak dosen minta make up class di pekan ini karena pekan depan akan ada tugas keluar kota. Artinya pekan depan banyak liburnya, dan pekan ini kuliah sampai otakku meleleh. Sindi dan Rara sudah memisahkan diri dariku, mereka sudah ada janji masing-masing. Sindi dengan Lio, Rara dengan Ares. Lantas aku? Ya sendiri saja. Namanya juga jomblo. Jomblo yang terabaikan karena beda perasaan.

Kakiku terhenti sebelum benar-benar sampai di bibir pintu fakultas. Mataku menangkap pemandangan di lapangan basket. Seperti biasa, anak UABB berlatih basket hingga sore. Aku menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan banyak tenaga untuk melewati samping lapangan dan mengabaikan kegiatan mereka, yang mana itu akan sangat sulit, karena sebagian dari mereka mengenalku. Yang paling sulit, mengabaikan Angga.

Aku melangkah keluar dari fakultas, menyeberang jalan, lalu berbelok ke kiri. Aku sempat melihat ke lapangan basket dan melambaikan tangan pada Nabila yang sedang duduk di tepi lapangan. Namun aku tidak mampir, tetap memilih berjalan menuju gerbang dan ingin segera pulang.

"Aliya!" seseorang memanggilku. Aku tahu suara itu milik siapa. Aku tetap berjalan, walau sedikit pelan.

"Aliya!" dia memanggil lagi. Suaranya makin dekat. Aku berhenti tepat di depan gerbang. Bukan karena suara itu memanggilku, tapi karena melihat Sindi yang turun dari mobil Lio, lalu disusul oleh Lio, dan tampak Lio sedang membujuk. Tumben sekali Sindi bisa berdrama. Padahal bukan tipikal Sindi seperti itu.

"Aliya," suara Angga tepat di belakangku. Aku membalik badan perlahan, berusaha menampilkan wajah senetral mungkin.

"Ya?"

"Kamu mau ke mana?" tanya Angga.

"Mau pulang," jawabku.

"Kamu..," Angga tampak ragu-ragu.

"Hm?"

"Kamu marah sama aku?"

"Bukannya kamu yang nggak suka kalau aku ada di sekitar kamu? Kamu bilang, aku mengganggu," kataku pelan. Angga menggaruk kepalanya.

"Duh, nggak gitu,"

"Kamu bilang gitu kok," aku mulai kembali emosi. Aku ingat betul saat Angga bilang begitu. Dikira aku ini amnesia apa?

"Aku nggak maksud gitu. Harusnya kamu nggak perlu marah," katanya. Ya ini gimana, aku dibilang mengganggu tapi nggak boleh marah.

"Udah deh Ngga, aku nggak akan ganggu kamu lagi,"

"Ya jangan," kata Angga.

Bentar, gimana? Jangan?

"Gimana?" aku bingung. Angga diam, memandang ke atas.

"Ya gitu deh, kamu nggak perlu marah," kata Angga. Aku tahu sebenarnya dia mungkin menyesal telah mengatakan hal yang menyakitiku. Tapi kok ya mau minta maaf saja dia ini gengsinya minta ampun. Malah bilangnya aku nggak perlu marah. Dasar.

"Oke, aku nggak marah, dan aku juga nggak akan ganggu kamu lagi," aku bersidekap.

"Itu namanya masih marah," kata Angga, kali ini dia menatap mataku. Dan sialnya, dia tampak mempesona.

"Terus yang nggak marah itu yang gimana?" aku menuntut penjelasan.

"Tunggu sini bentar ya," kata Angga, kemudian meninggalkanku di depan gerbang.

Aku tak habis pikir dengan Angga. Maunya itu yang bagaimana sih? Aku membalik badan, mengecek kembali apakah Lio dan Sindi masih berada di seberang jalan. Sudah tidak ada ternyata. Kemudian aku memutar badanku kembali, mencari sosok Angga di lapangan basket, sudah tidak ada. Ya terus aku ngapain di suruh menunggu di sini, kalau dia tiba-tiba hilang? Sudahlah, aku sebaiknya pulang saja.

Aku mulai berjalan menelusuri trotoar, menuju kosan.

"Kan aku udah bilang, tunggu bentar," Angga dan motornya berhenti di sampingku.

"Ya kamunya ilang," aku berhenti.

"Yaudah ayo naik," perintah Angga.

"Mau ke mana?" aku khawatir dia akan menculikku.

"Naik aja, kenapa sih?"

"Ke mana dulu? Nanti kamu nyulik aku."

Angga melepas helmya. Kenapa sih kalau dia yang ngelepas helm, walaupun rambutnya awut-awutan, jatuhnya tetap keren? Kenapa woy? Padahal dia ini manusia biasa, bukan member boyband.

"Udah, naik aja. Aku nggak nyulik kamu," kata Angga meyakinkan. Aku mendekat ke motor Angga.

"Bener, nggak akan diculik?"

"Kamu itu nggak laku dijual, nggak ada untungnya nyulik kamu," jawab Angga. Aku mendengus sebal mendengar jawaban Angga. Namun akhirnya tetap duduk di atas motornya.

Motor Angga hanya berkendara selama tiga menit. Lalu berhenti tepat di depan kosanku. Angga mengantar aku pulang, pemirsa. Ini namanya keajaiban.

Aku turun dari motor, Angga tidak segera pergi. Dia mematikan mesin, membuka kaca helmnya, kemudian melihat sekeliling.

"Kamu tahu kosan aku dari mana?" tanyaku. Karena tadi aku sama sekali tidak mengarahkan di sebelah mana harus berhenti.

"Ya dari mana saja kan bisa," jawaban yang menyebalkan.

"Pekan depan aku ke Surabaya," kata Angga.

"Eh?"

"Ada lomba lagi di Surabaya," imbuhnya. Aku masih berusaha mencerna omongan Angga.

"Sudah ya, aku pulang dulu Al," Angga menutup kaca helm, kemudian melajukan motornya. Sementara aku masih berdiri di depan pagar, menatap punggung Angga menghilang, sambil berpikir.

Ini tadi maksudnya apa? Aku diantar pulang, aku dipamitin kalau pekan depan dia akan ke Surabaya. Apakah ini artinya Angga juga punya perasaan yang sama terhadapku? Apakah begitu?

*********

to be continued.


Untouchable [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang