29. Kutinggal Magang, Kamu Menghilang

7.3K 388 11
                                    

Sindi Meiriska: Gimana kehidupan magang lo pada?
Aliya Maharani: Sibuk bats.
Miranda AS: Boring. Banyak nganggurnya. Paling cuma ngonseling orang sakit diabetes doang.
Sindi Meiriska: Iya deh, yang anak Giant. Gue mah apa.

Aku meletakkan ponsel, kemudian kembali menyentuh mouse di tangan kananku. Tak kusangka menjadi staff HRD akan mengurusi rekap absesnsi. Kukira aku akan berkutat di penilaian kinerja pegawai atau bagaimana. Tak tahunya malah begini.

Ini sudah memasuki pekan kedua aku magang, dan ternyata cukup sibuk. Aku harus mengikuti kerja delapan jam dan setengah jam istirahat. Jadi totalnya delapan setengah jam. Namun seringnya yang terjadi adalah lebih dari itu. Karena aku harus mengikuti apa kata pembimbingku. Kalau masih ada pekerjaan, ya harus tetap di tempat.

Pembimbingku bernama mbak Rosa. Usianya tujuh tahun lebih tua dariku. Mungkin sekitar dua puluh delapan. Orang Jakarta, seperti Sindi. Logat Jakarta dan lo gue-nya tetap nggak hilang walau sudah lima tahun di Malang. Kalau ngomong menggunakan bahasa jawa pun masih kaku. Tapi orangnya sama sekali nggak kaku. Fleksibel dan sangat sabar mengajari aku yang masih hijau ini.

"Al, ada permintaan tambahan untuk kasir. Tolong lo bikin iklannya dong. Sama sekalian lo upload aja di sosial media. Contohnya lo bisa tanya sama Toni ya," perintah mbak Rosa. Kemudian meninggalkan aku.

"Oke Mbak," aku kemudian mengalihkan pandangan kepada lelaki yang duduk di depan kubikelku.

"Mas, minta contoh iklan yang dimaksud sama mbak Rosa tadi dong," kataku pada mas Toni.

"Cari di sosmed aja ya. Aku males bongkar file. Tinggal ngganti tanggal aja," Mas Toni sibuk dengan komputernya.

"Lah, ini rekrutannya buat kapan?"

"Tahun depan. Ya kali, kamu mau pasang iklan kapan? Kalau hari ini disuruh upload ya buat hari ini lah, gimana sih?" cerocosnya.

"Batas akhir pengiriman lamarannya?" aku kembali bertanya. Mas Toni mendengus sebal.

"Biasanya kalau kita dua minggu cukup kok, Al," mbak Rosa kembali datang, meletakkan pouch di mejanya.

"Berarti yang ini tinggal diganti posisi, sama tanggalnya tanggal dua belas sampai tanggal dua puluh enam begitu, Mbak?" mbak Rosa mengangguk.

Aku segera melaksanakan tugasku. Nanti jika aku bingung akan tanya pada mbak Rosa saja. Bertanya kepada mas Toni hanya akan memperlambat pekerjaan. Dia selalu begitu. Bahkan sejak awal bertemu, dia tidak pernah ramah padaku. Padahal aku hanya anak magang. Bukan pegawai beneran.

***

Aku menggulir layar ponsel. Sejak seminggu yang lalu, tak ada pesan dari Angga. Mungkin anak teknik sipil lebih sibuk dari pada dugaanku, dan Angga pun juga magang di luar kota. Dugaanku bahwa aku ditakdirkan magang di Malang agar bisa bersama Angga ternyata hanya ilusi. Jangankan bersama, membalas chat dariku saja jedanya berhari-hari.

"Lo kok belum pulang? Udah selesai kok ini. Lo pulang aja, lagi pula ini malam Minggu," kata mbak Rosa sambil menatap cermin kecil di tangan kirinya.

"Malam Minggu toh nggak ke mana-mana, Mbak," jawabku lemas.

"Yakin cewek kayak lo nggak malam Mingguan?"

"Kayak aku?" aku bingung.

"Tampang lo itu tampang banyak pacar, Al. Nggak mungkin lo nggak malam Mingguan," mbak Rosa membubuhkan bedak tipis di wajahnya.

Boro-boro banyak, satu aja nggak dapet-dapet.

"Nggak punya, Mbak," terangku pada mbak Rosa.

"Masa? Ya kamu pacaran aja sama si Toni itu. Dia juga jomblo kok," mbak Rosa melirik mas Toni. Sementara mas Toni sudah mengayunkan jari telunjuknya.

Untouchable [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang