25. Tiket

7.8K 475 13
                                    

"Kemarin hanya jeda, saat aku berhenti mengejarmu. Kali ini, aku akan menggenggam tanganmu."

Aliya Maharani ~ Optimistis yang keblinger.

***
Tring! Ponselku berbunyi. Satu panggilan masuk. Tanganku menggapai ponsel di atas meja. Nama Anggara Mahardika muncul di layar.

Setelah sekian lama menghilang, dia datang kembali. Tapi dasar aku ini memang bucin, ya sudah pasti kuangkat telepon darinya.

"Hallo?" aku menyapa.

"Hallo Al, kamu sudah bangun?" ini hari Sabtu, apa yang kamu harapkan dari anak kos di jam lima pagi begini?

"Iya, kenapa?"

"Aku sudah titipkan tiket ke Via untuk kamu."

"Tiket apa?" aku membuka kesadaranku.

"Tiket nonton basket di Surabaya."

Aku terdiam sejenak.

"Kamu ada pertandingan di Surabaya?"

"Iya, aku sudah titipkan dua tiket untuk kamu."

Aku masih tidak percaya kalau ini bukan mimpi.

"Sudah ya, sampai jumpa besok," Angga mengakhiri panggilan.

Aku bangkit dari kasurku, melihat ke atas. Via tidak ada, dia sudah pulang kampung sejak kemarin sore. Tapi dia sama sekali tidak bilang apa-apa soal tiket nonton basket dari Angga.

Aku melihat ke sekeliling. Di atas meja, ada dua lembar tiket LIMA (Liga Mahasiswa) dengan sebuah note tergeletak.  Note tersebut bertuliskan 'Nih dari pujaan hatimu, semoga berhasil'.

Semalam, setelah pulang dari kerja kelompok, aku tidak memperhatikan ada tiket ini di atas meja. Parahnya Via tidak memberitahuku lewat chat ataupun telepon. Hanya lewat notes ini. Benar-benar anak zaman now yang jadul.

Aku memegang tiket itu sambil memikirkan akan mengajak siapa. Tiket ini hanya ada dua, dan satu-satunya orang Surabaya yang aku kenal adalah Lio. Tapi aku tidak mungkin pergi dengan Lio tanpa Sindi. Harusnya tiketnya ada tiga dong, Angga.

Aku menghubungi Rara, bertanya apakah dia bisa menemaniku menonton pertandingan Angga besok pagi di Surabaya. Jawabannya tidak, dia sudah terlanjur ada janji menemani Ares membeli mesin kopi terbaru.

Aku menelepon Haikal, menanyakan hal yang sama dengan yang kutanyakan pada Rara. Namun sama saja, Haikal sudah janjian dengan Nabila. Mau bersepeda berdua menuju Surabaya.

"Kita berangkat bareng aja Al. Gimana?" Haikal bertanya di ujung telepon.

"Ya masalahnya aku kan nggak bawa kendaraan di Malang," aku memandangi tiket di tanganku.

"Yah, gimana lagi dong, motorku cuma muat berdua aja. Kamu sih, nggak mau jadi pacarku, " kata Haikal.

"Ya udah lah, aku cari teman lain saja," aku mengakhiri sambungan.

Pilihan terakhir, aku menelepon Sindi. Sindi ada sepeda motor sih, tapi ya baik aku maupun Sindi belum pernah main ke Surabaya naik motor sendirian. Setiap kali ke Surabaya aku selalu dengan ayah, ibu, dan mas Bara. Tidak pernah sendirian.

Kalau seperti ini, aku jadi kangen mas Bara. Dia pasti mau kalau ku ajak jalan ke sana kemari.

"Hallo, apa?" Sindi terdengar menguap.

"Besok ada acara nggak?" aku meletakkan tubuh di atas kasur.

"Emm, ada deh kayaknya. Kenapa emang?"

"Yah, padahal aku mau minta tolong temenin," aku menghela nafas.

"Ke mana sih emangnya?"

"Ke UNAIR, Surabaya," aku menerawang tiket di udara.

Untouchable [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang