11. Pulang Kampung

8.5K 544 30
                                    

"Jarak itu bukan penghalang hati kita bersatu, sayang. Tapi kamu dan diammu sebabnya."

Aliya Maharani ~ si Jomblo yang sering galau.

***

Sebagai anak perantauan yang baik dan benar, jika sudah tiba liburan, maka aku pulang. Pulang ke kampung halaman, kota kecil bernama Tulungagung di provinsi Jawa Timur.

Aku sudah di rumah selama tiga hari, semuanya terasa indah. Belum membosankan, karena aku masih sibuk bercerita tentang kehidupanku di kota Malang pada ayah dan ibuku. Ibuku tentu saja adalah orang yang sangat sabar, karen mau diganggu dengan cerita-cerita nggak jelas seputar kehidupan kampusku.

Tapi sayang, hari ini malapetaka akan segera hadir. Kumbara Maheswara akan pulang dari perantauannya di Bandung. Dia itu satu-satunya lelaki yang keluar lebih dahulu dari rahim ibuku. Baru dua tahun kemudian aku lahir.

"Ndhuk, nanti jemput masmu di stasiun ya," kata ibuku sambil mengupas bawang di dapur. Aku juga mengupas bawang, membantu ibu mempersiapkan bahan-bahan sebelum memasak.

"Kan sekarang sudah ada grab, Bu. Ngapain mas Bara pakai dijemput segala?"

"Hus, ndak boleh gitu. Meskipun ada grab, tapi pasti masmu lebih senang kalau saudaranya menjemput," kata ibuku halus. Kalau sudah begini nggak bisa dibantah. Mau tidak mau aku harus menjemput lelaki paling tengil dan menyebalkan sedunia.

"Emang mas Bara sampai di stasiun jam berapa?"

"Ndak tahu, coba kamu telepon sana. Sekarang sudah sampai mana, tanyain begitu."

Aku meletakkan bawang dan pisau di meja dapur, lalu menuju ke kamar mengambil ponsel. Mencari satu-satunya nama yang hampir tidak pernah kutelepon selama di Malang.

"Hallo," sapa mas Bara di seberang telepon.

"Sampe mana?"

"Sampe hati dia meninggalkan aku," jawab mas Bara, garing.

"Yaudah aku nggak jadi jemput," ancamku.

"Eh, jangan, jangan dong, adikku sayang. Ini sudah mau sampai stasiun,"

"Yaudah, tunggu," kataku lalu mengakhiri sambungan.

Aku keluar dari kamar kemudian berpamitan pada ibu bahwa aku akan menjemput mas Bara. Setelah menyampaikan hati-hati, ibuku melanjutkan memasak. Mau masak rawon buat mas Bara katanya. Memang lah, dia itu anak kesayangan.

Aku mengambil kunci mobil yang digantung di dekat pintu ruang tamu, kemudian bersegera menuju stasiun kota Tulungagung.

Aku celingukan di dekat pintu keluar bersama tukang becak dan tukang ojek yang menunggu penumpang. Mereka menunggu orang-orang turun dari kereta dan memakai jasanya. Beberapa menit kemudian kereta tiba, beberapa orang mulai berdatangan, dan suasana menjadi ricuh karena bapak-bapak tukang becak dan ojek itu berebut penumpang.

Seseorang menyentil telingaku.

"Aduh," pekikku, kemudian menoleh ke belakang. Tampaklah seorang laki-laki yang tiga puluh centi lebih tinggi dariku, berkulit putih, kumis dan jambang yang dibiarkan berantakan-biar kayak Fiersa Besari katanya, sedang tersenyum usil padaku.

"Sakit, bego!" makiku. Dia tidak peduli, tetap tersenyum dan menarik kopernya keluar dari kerumunan. Aku pun ikut keluar.

"Parkir di mana kamu?" tanya mas Bara.

"Makanya kalau jalan itu jangan ngeloyor aja, ninggalin yang jemput," jawabku kesal.

"Kapan lagi lah diisengin orang ganteng kayak begini?" kata mas Bara sambil merangkulku.

Untouchable [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang