1. ANFAK

36.6K 1K 37
                                    

"Jomblo ketemu jomblo itu sudah biasa. Tapi kalau jomblo ketemu pangeran, itu namanya rejeki."

Aliya Maharani ~ Jomblo pencari tambatan hati

***

Priiiitt!Peluit berbunyi, tanda permainan di mulai. Bola dilambungkan ke udara, duaorang pemain melompat tinggi, berebut bola. Terlihat teman-teman darifakultasku sudah berjaga di posisi masing-masing. Mereka tampakbersungguh-sungguh dan serius. Aku baru sadar bahwa basket bisa seintens ini.

Aku duduk di sebelah utara lapangan basket bersama Sindi, Rara, dan teman sekelasku yang lain. Ada juga kakak tingkat yang turut serta mendukung teman sekelasnya. Sama seperti yang kami lakukan. Di sisi barat lapangan basket para mahasiswa dari fakultas teknik sudah berjajar bersiap menyemangati timnya.

Pertandingan hari ini adalah pertandingan basket putra mahasiswa fakultas psikologi vs mahasiswa fakultas teknik. Kalau psikologi isinya ya hanya psikologi saja. Kalau teknik banyak, ada teknik mesin, teknik sipil, teknik elektro, dan entahlah aku tidak tahu, yang jelas kebanyakan dari mereka laki-laki. Ini lah yang membuat Sindi cukup semangat nonton anfak, banyak cowoknya. Sedangkan aku? Kurang lebih sama lah. Namanya juga jomblo.

"Gimana nemu yang oke belum?" tanyaku pada Sindi.

"Anak kampus kita kenapa sih kok langka banget yang ganteng, tampan dan rupawan? Anak kampus sebelah perasaan banyak yang ganteng," kata Sindi.

Aku kemudian memperhatikan gerombolan laki-laki yang ada di sisi barat lapangan basket. Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Sindi, dari sekian banyak laki-laki hanya satu dua orang saja yang tampak bening. Ah, lebih tepatnya satu. Aku melihat satu sosok laki-laki berkulit sawo matang namun sedikit lebih terang, rambutnya hitam, tubuhnya tinggi dan tegap. Ia memakai baju seragam basket dengan nomor enam di punggungnya, dan ada tulisan ANG di bagian atas angka. Kurasa hanya dia yang paling sedap dipandang mata.

"Nomor enam, menurutmu gimana Sin?" tanyaku pada Sindi. Sindi mencoba menemukan sosok yg kumaksud.

"Hemm, kayaknya kalau muka, ya boleh lah ya. Dia juga tinggi. Not bad lah," komentar Sindi.

"Kalau Rara?" tanyaku. Dia menggeleng.

"Dia sih tetep si Bima yang paling ganteng," kata Sindi.

"Ya iya lah, kan gue punya cowok. Emangnya lo, jomblo," kata Rara.

Rara memang punya pacar. Katanya sih sejak SMA. Masih berlanjut sampai sekarang. Aku juga pernah punya pacar waktu SMA. Tapi ya tidak semulus kisah cinta Rara. Sekarang aku tidak tahu pacarku ada di mana. Tanpa kabar, tanpa telepon, chat atau apa pun, dia tiba-tiba menghilang. Setelah berbulan-bulan tidak mendapatkan jawaban, aku memutuskan untuk move on. Mungkin ini salah satu caranya. Melihat-lihat banyak lelaki, barangkali ada yang pas di hati.

Pertandingan dimulai, permainan berlangsung seru. Di menit ketiga Vian mencetak angka, yang kemudian langsung dibalas oleh mahasiswa teknik dengan nomor punggung enam tadi. Gila, mainnya jago sekali. Sepanjang quarter pertama, ia memasukkan bola lima kali. Sedangkan fakultasku tiga kali, itu pun bergantian, Vian, lalu sisanya kakak tingkat yang aku tak tahu namanya. Di sisa waktu pertandingan, aku tak bisa mengalihkan mataku dari mahasiswa teknik bernomor punggung enam itu. Berkali-kali ia mencetak angka.

"Duh, keren banget sih," gumamku.

"Siapa?" tanya Rara.

"Itu yang nomor enam," jawabku.

"Nomor enam? Nomor enam kan anak kelas B, namanya Adrian kalau nggak salah. Dia masih cadangan gitu. Keren dari mananya?" balas Rara. Aku menoleh pada Rara.

"Anak teknik, Ra!"

Rara melihat ke lapangan. Kemudian mengangguk angguk.

"Ya kan?" tanyaku.

"Masih keren Bima kalau lagi main basket," jawabnya. Aku mendengus sebal. Iya lah dia punya pacar yang pemain basket, pasti akan bilang begitu.

Sindi tertawa mendengar perbincangan kami. Lalu aku kembali fokus pada lapangan. Mataku tak bisa lepas dari lelaki bernomor punggung enam itu. Berkali-kali ia mencetak angka, dan entah kenapa setiap ia memasukkan bola, seperti ada sinar putih di sekelilingnya. Lebay kan diriku ini? Tapi ini beneran lho.

"Woohoo, Angga emang keren," teriak salah satu gadis di antara gerombolan penonton mahasiswa teknik. Si nomor enam itu menoleh, lalu tersenyum pada gerombolan itu.

"Namanya Angga?" gumamku lirih, yang herannya kuping Sindi bisa mendengarnya.

"Iya, namanya Angga. Anggara Mahardika," kata Sindi sambil menunjukkan ponselnya.

Wah gila, Sindi sepertinya pernah ikut pelatihan BIN. Dia sudah dapat instagramnya dalam waktu sekian menit.

Aku meraih ponsel Sindi, melihat instagram yang ditunjukkan padaku. Foto profil seorang laki-laki memakai kaos basket warna putih dengan nomor punggung enam, dengan kepala menoleh ke samping kiri. Tampak wajahnya separuh sisi sebelah kiri, dan memang sama dengan lelaki yang sejak tadi menarik perhatianku.

Nama profilnya Anggara Mahardika. Tertulis di Bio instagramnya Teknik Sipil 2017, lalu di bawahnya tertulis UABB, di bawahnya lagi tertulis E-SPORT ATHLETE soon to be. Tapi sayangnya akunnya digembok. Aku tidak bisa melihat isi instagramnya, insta story-nya dan informasi lainnya yang biasanya terkandung di instagram.

"Digembok," kataku sambil mengembalikan ponsel Sindi.

"Ya follow dong," kata Sindi.

"Ogah ah," jawabku.

"Cupu lo."

Aku mencebik, kemudian kembali fokus pada lapangan. Bola sedang dikuasai oleh fakultas kami, fakultas psikologi. Salah seorang kakak tingkat mencetak angka. Kemudian teriakan riuh dari deretan tempat duduk kami. Aku biasa saja, tetap menatap si nomor punggung enam, Anggara Mahardika. Ia melihat ke arah kami, sekilas mata kami bertemu. Jantungku menderu.

****

Yuhuuuu, segini dulu ya adik-adik. Aku pengennya mentarget satu chapter seribu karakter atau lebih. Tapi ini momennya pasnya segini doang. Jadi pendek. Gak pa pa lah ya.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya.

Untouchable [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang