29. SB : Suka Vera

692 75 9
                                    

Meninggalkan, terasa sulit.
Bertahan, semakin sakit.

Dasar aku.”

[SB, 2019]

⏺️⏺️⏺️





   Vera berdiri di depan cermin di kamarnya pagi ini. Lucu sekali melihat dirinya tanpa tangan yang lain. Sangking lucunya ia ingin menangis kembali. Teman-temannya sudah memberikan ponsel baru padanya, agar dapat dihubungi katanya.

    Mereka pergi sekolah sejak seminggu kemarin dan sedang melangsungkan kegiatan Ujian Tengah Semester. Vera belum dibiarkan masuk sekolah dengan alasan kesehatan, tapi vera tidak percaya.

   Di pikiran vera, si pembohong ulung, pemakai topeng tertebal, sangat mudah menebak barang satu dua kata yang diucapkan orang lain——bohong atau tidak. Sangat mudah baginya bersikap seolah dia menerima kebohongan itu secara pura-pura.

   Vera terkekeh sedih, ia tak bisa bersekolah lagi sepertinya. Memang benar, penyakitnya semakin parah baik fisik maupun mental. Memang benar, ia belum pulih betul dari kejadian terakhir kali——bahkan semakin parah, tapi sekolahnya adalah sekolah yang meninggikan dan mementingkan pandangan orang luaran terhadap titel sekolah tersebut, membasmi habis segala jenis kotoran maupun cacat tanpa terkecuali dan memandang bulu.

    Vera sudah menebak hal itu saat ia berpikir menanyakan hal tersebut pada Regan kemarin, dan agaknya ia merasa mereka ada teman terbodoh yang ia punya. Jelas si gendut berambut keriting dengan lipstick merah merekah dan tingkat ketegasannya yang patut diancungi jempol kaki di sekolahnya tak akan membiarkan cacat di sekolahnya, meski dia dulu emas yang diagungkan di penjuru sekolah, bahkan sampai gudang tak terpakai sekalipun.

     “Kak?”

    Vera menoleh, memperhatikan Niel disana dengan seragam putih abu-abu yang agak basah. Nafasnya pun terengah-engah.
Tampak datang dengan terburu-buru datang ketempatnya.

   Sedikit informasi, Vera tinggal kembali di rumah neneknya sembari menunggu kabar tentang ayahnya yang belum ditetapkan sebagai pelaku.

    “Ngapain manggil kak? Kita seumuran.”

    Niel berdecak, “Santai.” Ia mendudukkan dirinya di kasur, mematikan daya ponselnya yang sejak ia pulang ujian sudah ramai dengan telepon masuk dari mamanya.

   “Kenapa dimatikan hpnya?” Vera menyisir rambutnya yang perlahan jatuh lagi helai per helai.

   “Mama nelpon terus.” Niel menghela nafas, “Males, entar disuruh pulang. Kan gak bisa ketemu kamu.”

    Vera terkekeh, “Mamamu itu loh.”

   Niel memiringkan badannya, “Mamamu juga.” selang lima detik, “Aku juga gak mau ngulangin kesalahan yang sama lagi, kak.

     Vera tersenyum miring, “Mama Angkat, dan Ho..Sok sekali kalimatmu, Tersanjung aku.”

    “Ver, masih mau sekolah gak sih?”

    Vera mengangguk. “Tapi, si gendut gak bakal ngasih. Yakin. Lagipula, cepat atau lambat tanpa bunuh diri lagi, Aku bakal pergi juga yel.”

Siapa Bilang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang