34. SB : Sudut Pandang Raka

741 71 7
                                    


Segalanya harus dilihat dari
Semua sudut pandang
Bukan hanya satu.
Maka disaat seperti itu,
Kamu akan menemukan jawabannya”








       Imun tubuh vera kian melemah, sudah lebih dari sehari dia masih setia terpejam. Niel semakin suram. Ia menatap Vera yang hanya terbujur dengan beberapa selang di tubuhnya membuat dirinya merasa sangat patah.

    “Jadi Gimana?”

    Beberapa penghuni IPA 1 yang mengunjungi Vera hari ini menunduk diam tatkala mendengar suara tere bertanya. “Jadi, Gimana? Masih lanjut penampilannya?”

     “Ya.” Regan menjawab, “Kita lanjutin penampilannya. Kita ga boleh nethink dulu. Mungkin, waktu pensi nanti Vera udah lebih sehat.”

       “Kamu terlalu positif, gan.” Raka berujar sinis dari ujung sofa, tanpa melirik regan secara langsung, dan sibuk berbalas pesan melalui ponselnya. “Realistis. Jangan buat semuanya jadi sia-sia.”

       Niel mengepalkan tangannya begitu kuat, mendengarkan kalimat Raka yang seolah-olah mengatakan bahwa Vera akan pergi, sebentar lagi. Atau, Menyimpan kenangan dengan Vera yang akan segera pergi sungguh membuang waktu. Niel emosi.

       “Kenapa harus nunggu pensi?” tanya Raka yang akhirnya memandang tiap pasang mata di ruangan itu lekat. “Kita gak usah memperkirakan masa depan yang bahkan kita gak bakal tahu akan gimana, kita gak tahu Vera akan mati atau enggak, siapa yang tahu Vera bakal ada sampai kita nampilin penampilan kelas untuk dia waktu Pensi, dia bakal senyum bahagia, Vera bakal senang dan blablabla. Man, Realita gak sebagus apa yang mutar-mutar di kepala kita, yang bakal mikir kalau Vera bakal lihat kita tampil, nangis terharu, kita nangis dan blablabla. Kita bukan Tuhan. Gak usah terlalu positif kalau sebenarnya kita bakal tahu ending nya bakal gimana. Yang gak kita tahu itu kapan, bor. Jadi, ngapain nunda waktu sampai pensi?”

       “Kamu nyumpahin Vera mati cepet gitu? Iya?” Regan kepalang emosi, sudah hampir meloloskan satu tinjuan pada Raka jika bukan ditahan oleh Tere.

       Raka tertawa sinis, “Gak. Gan, Realistis. Vera pasti bakal mati, cepat atau lambat. Kita semua bakal mati. Siapa yang tahu umur kita sampai mana, ya kan?.” Raka terkekeh, “Jadi, apa dengan Aku ngomong sepanjang itu, Bakal kejadian langsung kalau vera bakal pergi saat itu juga? Enggak kan?. Walau katanya, Ucapan adalah doa, gak mungkin Tuhan dengan segampang itu buat skenario sekeji itu. Dan, Gak ada dikalimatku yang secara langsung bilang vera bakal pergi yang kayak kamu bilang tadi. Gan, Kamu yang ngomong.”

     Terdiam.

     Raka menggerakan dagunya dengan angkuhnya, “See?” Raka tersenyum, “Bukan Ga respect. Tau kok, Vera teman sekelas kita, Teman yang harus dirangkul. Tapi, Hidup ini gak usah dibawa drama banget lah. Kalau kita udah tau endingnya akan datang cepat atau lambat, Gak usah buang-buang waktu.”

    Raka melihat jarum jam menujukkan pukul 4 petang, “Duluan, ya. Mau jemput kak Nada les.”

     “Halah, Bucin.” Ejek Regan setelah menendang betis Raka. Raka tertawa, balik menendang betis Regan, “Ini, hanya bentuk ungkapan rasa. Gak usah belagak bilang bucin.”

        Lalu Raka hilang dibalik pintu.

       “Jadi Gimana?”

       Regan menunduk, “Kita lihat perkembangan Vera besok. Kalau semakin buruk, dalam waktu dekat ini, kita harus siap siaga buat Rencana.”


Siapa Bilang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang