37. SB : Dearest, Raka

966 73 38
                                    

Kalian tahu
akhirnya akan seperti apa.
Jadi, kenapa masih saja
setia denganku?
Setidaknya tinggalkan.
Supaya aku tak berat meninggalkan.”

•••



    [Regan pov]

        Aku masih ingat, kemarin, kami masih sangat sangat sibuk menyiapkan segalanya. Sibuk mengedit video, sibuk berlatih bersama. Masih jelas, Aku meminta Raka pergi dan entah dia melanglang kemana.

      Masih ingat juga, selanjutnya saat tiba hari-H aku merasa akan terjadi sesuatu. Aku masih ingat jelas, Vera adalah satu-satunya nama dibenak kami, satu-satunya orang yang kami jadikan prioritas di acara ini.

     Tapi, Raka,Teman badung ku sejak kelas sepuluh, dia itu teman yang paling setia diantara semua yang kujumpai. Tak pandang hujan, tak pandang badai, dia sangat menghargai pertemanannya. Pantas saja kami dikatakan pasangan homo.

    Entah Mengapa Tuhan memberi dia berkah kegoblokan, ke tololan yang berlebih. Dan aku sangat membencinya. Kali ini.

  Flashback [Author pov]

   Raka bersiul keras-keras saat berdandan di depan cermin, merapikan tatanan rambutnya dan mengalungkan kameranya di leher. Dia punya agenda sendiri kali ini, meskipun agenda hari ini adalah pergi ke tempat pensi.

    Tapi, Raka tetap raka. Dia membuat rencana dalam rencana. Maka, ia menelpon Vera.

     “rencananya ga usah ka”

     “Loh, kenapa? Aku baikloh mau bantu kamu ketemu ayahmu. Kurang baik apa coba aku bisa bawa kabur dari rumah sakit?”

    “Ga usah ka. Aku telfon regan aja ya?”

    “Kenapa si ver? Salah aku bantu kamu ya? Oh, atau kamu emang mau regan aja yang bantu kamu?”

    “Bukan gitu. Yaudah lah.”

    “Tunggu kujemput. Setelah ketempat ayahmu, janji, kita langsung ke tempat pensi. Aku hanya mau nunjukkan aku nyesal ver. Please?”

   “Iya.”

    Dengan kecepatan Rata-rata, Raka melajukan kendaraannya menuju ke rumah sakit.

[FLASHBACK OFF]

     Regan menghembuskan asap rokok yang entah keberapa kali ini. Jas yang digunakannya sudah acak, rambutnya lepek dan jejak penyesalan masih terlihat di wajahnya. Di depannya, terlihat jelas lapangan basket dulu, tempat dia sering beradu basket dengan Raka.

     “Beneran goblok, ka. Goblok.”

     “Temen bangsat, ka. Temen bangsat.”

    “Mati kamu ka, mati.”

    Raka menendang bola basket yang terpantul lagi ke kakinya setelah ia berusaha merusak bola itu tadi. Ponselnya juga tak henti berdering.

    “Diem bangsat. Temenku mati.”

   Umpatnya dan melemparkan ponselnya ke tengah lapangan.

    Langit begitu kelabu, Regan yang masih acak dan penyesalan yang membuncah dibarengi dengan kekesalan yang tak henti ia luapkan.

     Temannya tewas.

    Kecelakaan.

  
   Demi menjalankan rencana bodoh.

   Yang bahkan tak terjadi.

    Dan langit semakin kelabu, ketika IPA 1 yang lainnya menangis di belakang sohib terbaik raka. Tak ada satupun yang berani menjumpai Regan yang kalut, kehilangan teman terbaiknya. Tak ada yang berani memayungi Si Ketua Kelas saat rintik hujan semakin deras, dan regan semakin pundung.

       Sementara Teriakan kekesalan Regan kembali terdengar, yang lainnya menangis semakin keras, sembari memeluk pigura si wakil ketua kelas.

      “Ini harusnya jadi kenangan! Tapi kenapa raka tolol banget sih! Harusnya dia gak usah sok naik motor! Gak usah sok jadi pahlawan.” umpat sisil.

   “Sil, udah...”

     Di sisi lain, vera masih menangis. Di dalam ruang rawatnya, dengan kaki yang menekuk. Sibuk menyalahkan dirinya sendiri. Sibuk merutuki kebodohannya. Sibuk mengeluh, kenapa dia masih dibiarkan Tuhan hidup? Dan temannya yang baik hati, cinta pertamanya diambil dari sisinya?
Kenapa Tuhan mencobai dirinya dengan begitu berat? Apa ringkihnya jiwa dan raganya tidak terlihat di matanya? Kenapa?

    “Ver, udah.” Kata Niel. Sementara Vera masih menangis. Bahkan kamera raka sengaja ia sembunyikan di dekat kakinya.

   “Bukan salahmu. Udah.”

   “Salahku, yel. Salahku. Kenapa coba bukan aku yang mati? Salah apasih aku sama Tuhan? Apasih yang kulakukan? Kurang bersyukur apa aku? Kurang terluka apa aku? Kenapa segini berat-t ha? Kamu jadi aku, kamu gimana? Berapa kali minta dijemput Tuhan, tapi dia malah jemput temanku duluan? Kenapa kejam yel! Gak guna! Bawa sial! Kenapa HAH?!”

    “Ver..”

    “Harusnya, harusnya aku gak diadopsi mama. Harusnya aku gak ketemu kamu, gak ketemu regan, gak ketemu raka, gak ketemu kalian!. Harusnya aku memilih lompat dari atas gedung, minum racun, daripada bolak-balik menyayat tangan. Harusnya kalian gak tahu aku penyakitan! Harusnya aku mati sendirian! Harusnya ga ada kalian!!”



     Maka, hari ini. Harusnya menjadi kisah yang indah. Harusnya menjadi momen yang tidak akan dilupakan bagi Vera. Harusnya ini menjadi kenangan IPA 1 yang bahagia.

   Harusnya.

  Ya, Harusnya.

  Karena, dengan kepergian Raka, semuanya tak akan sama lagi.

  



Tbc.

lah gaje amat 😭
Singkat amat :((
Maaf lamaaaaaaaaaaaaaa banget. Sibuk banget di rl :((

Eh udah mau ending, gimana pendapat kalian sejauh ini?


Kkk, udah dibilang jangan suka nebak cerita ku akskakka. Selamat menunggu ending sayangku :*

   

   
 
    

   
    

 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Siapa Bilang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang