Part 06

10.7K 593 19
                                    

Seperti siang-siang sebelumnya, yang Steven lakukan saat ini hanya menunggu, setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat-cepat hanya karena ingin menikmati makanan yang akan Kanaya kirimi nanti. Sudah beberapa hari ini, Kanaya masih terus saja mengirimi Steven makanan, meskipun tak pernah mendapatkan respon dari lelaki itu, tapi nyatanya Kanaya tak pernah lelah berusaha.

Sekarang, Steven yang justru dibuat kecanduan dengan penantian kiriman makanan itu. Rasanya, hari-harinya tak akan lengkap bila tidak memakan masakan Kanaya yang datang setiap jam makan siang menjelang.

Aneh, entah kenapa kebiasaan Kanaya yang suka mengirim makanan itu justru turut menjadi kebiasaan Steven untuk selalu menunggunya. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya? Steven merasa aneh. Mungkin rindu, tapi bagi Steven itu terlalu konyol meskipun ia ingin mengakui hal itu.

"Kanaya," gumamnya sembari menyenderkan punggungnya di kursinya lalu menatap langit-langit ruangannya, ingatannya menjelajah saat Kanaya datang ke ruangannya untuk menyapanya. Senyum tulus gadis itu seolah mampu membuat Steven turut tersenyum kala membayangkannya.

Cukup lama Steven beristirahat sembari membayangkan segala tingkah laku Kanaya, suara ketukan pintu ruangannya itu kini terdengar, membuat Steven tersenyum mendengarnya. Karena lelaki itu sangat yakin, bila satpam kantornya itu yang datang untuk memberikan rantang makanan milik Kanaya.

"Masuk," jawab Steven terdengar datar sembari berusaha terlihat sedang sibuk merapikan beberapa berkas miliknya yang bertebaran di atas mejanya.

"Ini Pak, seperti biasa dari Nona Kanaya." Suara satpam kantornya terdengar, tanpa mau Steven tatap empunya.

"Iya, taro saja di situ!" pintanya sembari menunjuk ke arah meja bagian depannya, yang lagi-lagi tanpa mau menatap si satpam.

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak." Steven hanya mengangguk saat satpam kantornya berpamitan. Tak lama, terdengar pintu ruangannya tertutup membuat Steven yakin bila satpam tersebut sudah pergi dari ruangannya sekarang.

Dengan perasaan lega, Steven melirik ke seluruh ruangannya yang sudah tidak ada orang lagi selain dirinya. Dengan cepat, Steven mengambil rantang Kanaya untuk mengambil kertas surat yang selalu Kanaya selipkan di bagian ganggang rantang.

Om, Kanaya capek nulis surat buat Om. Soalnya eggak pernah Om balas juga.

Tapi tenang, Om. Kanaya enggak pernah capek kalau cuma masak buat Om. Soalnya kan nanti Kanaya bakal masak setiap pagi, siang, dan malam buat keluarga kita kan, Om. Ciye-ciyeeeeee.

Oh iya, Om.
Kapan nih kira-kira Naya bisa ketemu lagi sama Om Steve? Masa Om enggak kangen sih sama Naya? Enggak enak tahu LDR-an kaya begini, Om. Naya capek nahan kangen sama Om. Naya kan juga mau ketemu.

Sampai Naya itu iri loh Om sama rantangnya Naya sendiri. Masa dia setiap hari ketemu sama Om, dibelai-belai sama Om, diangkat-angkat sama Om. Naya juga kan mau, Om.

Om, kapan Naya boleh ke ruangannya Om Steven? Meskipun kita bakal nikah, Naya enggak kuat kalau dipingitnya lama kaya begini.

Itu saja ya Om yang ingin Naya tulis, Naya masih capek. I Miss you, Om Steven.

Membaca surat itu, lagi-lagi Steven dibuat tersenyum setiap menerimanya. Celotehan Kanaya yang tertoreh di kertas, seolah mampu membuat Steven merasakan kehadiran gadis itu.

Setelah puas membaca, Steven meletakan surat Kanaya di sebuah kotak seperti biasanya, yang memang sengaja Steven kumpulkan di sana, meski ia sendiri tidak tahu kenapa dia melakukannya. Lalu tatapan lelaki itu jatuh pada rantang Kanaya, tanpa mau menunggu lagi, Steven membukanya untuk melihat isinya.

Om, nikah yuk! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang