Di dalam mobil, Kanaya dan Steven masih sama-sama terdiam. Keduanya tidak berbicara sedikitpun, meski mobil yang mereka tumpangi terus melaju. Membuat Steven kebingungan harus bersikap bagaimana lagi sekarang, untuk mencairkan suasana beku di antara mereka.
"Eh, setelah ini kita belok ke mana?" tanya Steven sembari melirik ragu ke arah Kanaya.
"Belok kiri, Om. Nanti kalau sudah sampai tempatnya, Kanaya kasih tahu lagi." Kanaya menjawab kaku tanpa mau menatap ke arah Steven yang hanya bisa mengangguk.
Keduanya kembali terdiam, membiarkan suasana canggung membunuh mereka secara perlahan-lahan, sangking anehnya suasana yang sedang mereka alami sekarang. Sampai saat Kanaya melihat jalan yang sebentar lagi akan membawanya pulang, Kanaya bersiap-siap untuk memberitahunya ke Steven.
"Nanti ada papan yang tulisannya panti asuhan kasih bunda, Om berhenti ya. Itu tempat tinggal Naya," ujar Kanaya sembari menunjuk ke arah jalan lalu menatap ke arah Steven yang hanya terdiam kali ini, merasa kehilangan dengan pertemuan mereka yang cukup singkat hari ini, rasanya Steven hanya tidak rela bila Kanaya pergi dan jauh dari jangkauannya. Sedangkan Kanaya justru turut terdiam, memikirkan Steven yang sepertinya sedang marah dengannya karena aksi konyolnya tadi, membuat Kanaya merasa sangat bersalah meski ia sendiri tidak bisa berbuat banyak, karena memang itu janjinya sendiri.
"Apa itu yang kamu maksud," tunjuk Steven sembari menunjuk ke arah papan besar yang bertuliskan seperti yang tadi Kanaya ucapkan.
"Iya, Om." Kanaya menjawab lirih yang lagi-lagi ditanggapi kediaman oleh Steven.
"Kita sudah sampai," ujar Steven terdengar dingin tanpa mau menatap ke arah Kanaya, setelah memberhentikan laju mobilnya di sisi jalan.
"Iya, Om. Kanaya akan keluar, tapi sebelumnya Naya mau minta maaf dulu sama Om, kalau ucapan Naya tadi menyinggung perasaannya Om." Kanaya berujar lirih sembari tertunduk takut ke arah Steven.
"Kenapa kamu bisa berbicara seperti itu? Alasan apa yang mendasari kamu untuk melakukannya? Apa, Kanaya?" tanya Steven sembari menatap tajam ke arah Kanaya yang merasa bingung di balik tundukan wajahnya.
"Naya kan sudah bilang, kalau Naya itu cinta sama Om Steven," jawabnya tulus meski belum mau menatap langsung ke arah Steven.
"Apa cuma karena cinta, kamu bisa berpikir untuk menyerahkan mahkotamu begitu saja ke pria yang kamu cintai?" tanya Steven yang kali ini terdengar tak habis pikir.
"Bukan begitu, Om. Naya cuma mau melakukan yang terbaik buat Om Steven, meskipun Naya tahu kalau kita juga enggak mungkin bisa bersama." Kanaya menghembuskan nafas beratnya, berharap bisa melegakan perasaannya yang terasa sesak di dadanya.
"Naya sadar kok, Om. Naya itu enggak pantas bersanding sama Om, karena Naya cuma gadis panti asuhan. Naya enggak punya keluarga, Naya enggak punya asal-usul yang jelas, Naya juga bukan orang kaya. Tapi setidaknya, Om terima tawaran Naya ya? Setelah itu, Naya akan benar-benar pergi dari kehidupan Om Steven untuk selama-lamanya." Kanaya menatap tulus ke arah Steven, mata beningnya yang selalu terpancar aurah kebahagiaan itu kini berair, Kanaya menangis entah karena apa, Steven sendiri bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi pada gadis itu.
"Kalau saya tidak mau, bagaimana?" tanya Steven terdengar dingin, membuat Kanaya kembali tertunduk setelah mendengar penolakan dari lelaki yang dicintainya itu.
"Sebegitu rendahnya ya Naya di mata Om? Sampai Om enggak mau menyentuh Naya, Om jijik sama Naya?" Tangisnya kembali pecah saat menanyakan pertanyaan itu, hatinya terasa sesak karena Steven menolak tawarannya itu kemungkinan besarnya karena ia memang terlalu rendah.
"Saya tidak mau menerimanya karena saya sangat menghargai kamu. Saya sendiri masih bingung, kenapa kamu menawarkan hal itu pada saya? Sedangkan kita saja baru kenal. Kalau untuk alasan kamu yang mencintai saya, rasanya itu tidak masuk akal, Kanaya." Steven merengkuh tangan Kanaya, berharap gadis itu mau mengerti perasaanya yang memang belum bisa memahami maksudnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Om, nikah yuk! (TAMAT)
Romance"Om, nikah yuk!" "Anak kecil kaya kamu itu seharusnya kuliah, supaya masa depanmu cerah. Ini malah mau mengajak menikah." "Buat apa kuliah, Om? Kalau cita-cita Naya enggak harus pakai gelar sarjana?" "Memangnya cita-cita kamu apa?" "Menikah sama Om...