Di meja makan, Steven langsung duduk di tempatnya tanpa mau repot-repot menyapa adiknya yang jarang ditemuinya itu. Tatapannya tak begitu fokus dengan segala makanan yang dihidangkan di depannya saat ini, sangking lelahnya ia bekerja hari ini.
Sedangkan Stevan yang merasa terabaikan itu justru menaikan salah satu alis tebalnya, menatap tak percaya ke arah kakaknya yang tidak mau menyapanya. Padahal Stevan itu adik kandungnya, yang harus disayangi Steven, meskipun Stevan sendiri tidak terlalu mengharapkannya.
"Kak Steve enggak kangen ya sama Evan?" tanyanya sembari menatap kakak lelakinya itu dengan sorot mata tak percaya.
"Enggak tuh." Steven menjawab jujur, tanpa mau menatap ke arah adiknya yang pasti akan menjahilinya lagi.
"Oh berarti Kak Steve lagi punya pacar nih?" tuduhnya sembari tersenyum penuh arti.
"Sok tahu kamu ya? Dan lagi, apa hubungannya Kakak yang enggak kangen sama kamu dengan Kakak yang sudah punya pacar?" sungut Steven kesal, yang hanya digelengi kepala oleh papa mereka yang merasa maklum dengan kedua putranya yang memang berbeda sifat.
"Enggak ada hubungannya sih." Stevan menjawab polos, membuat Steven memejamkan matanya serasa tak percaya bila adiknya itu selalu bersikap sama acap kali mereka bertemu. Yang pembicaraannya tidak akan jauh dari pacar, status, sudah bertemu jodoh apa belum, atau siapa pasangan hidup yang akan Steven nikahi nanti.
"Tapi, Evan cuma heran saja sih sama Kakak. Kok ya enggak laku-laku gitu? Masa, setiap Evan pulang, Kak Steve masih jomblo terus." Adiknya kembali berujar dengan nada penuh keheranan.
"Memangnya kamu sendiri sudah punya pacar? Hm?" tanya Steven malas.
"Belum sih." Stevan menjawab polos, membuat kakaknya itu menggeram lelah karena ulahnya.
"Kalau mau menghina itu ya ngaca dulu lah. Situ aja masih jomblo kok," sungut Steven kesal, membuat Stevan menyengir kuda karena ucapannya.
"Orang ganteng kan bebas, Kak."
"Orang gila juga bebas." Steven menjawab malas, yang kali ini membuat Stevan cemberut mendengar ucapan kakaknya.
"Hem," geramnya marah.
"Steve," panggil mamanya dengan buru-buru duduk di kursinya, membuat ketiga lelaki yang disayanginya itu sama-sama menoleh ke arahnya.
"Apa sih, Ma?"
"Mama mau tanya, Kanaya itu siapa? Kenapa dia kirimi kamu makan siang?" tanya wanita itu terdengar penasaran, membuat suaminya dengan putra keduanya turut merasakan hal yang sama.
"Mama ini ngomong apa sih? Siapa itu Kanaya? Mama tahu dari mana, kalau dia kirimi makan siang buat Steven?" Papanya itu menyahut heran ke arah istrinya itu.
"Kata Steve sendiri kok. Tadi dia bawa rantang makanan, Pa. Mama pikir, Steve pesan katering di kantor. Tapi Steve bilang, kalau kiriman makanan itu dari Kanaya. Jadi sekarang Mama mau tanya, siapa itu Kanaya, Pa?" jawab wanita itu, yang diangguki mengerti oleh suaminya.
Sedangkan sekarang, tatapan seluruh keluarganya kini sama-sama tertuju ke arah Steve. Membuat lelaki itu menaikan salah satu alisnya, merasa tak percaya dengan keluarganya yang begitu kompak ingin menuntut jawaban darinya. Padahal bagi Steve, Kanaya bukanlah gadis spesial, tapi tatapan keluarganya justru memancarkan harapan bila Kanaya itu akan menjadi calon istrinya saja.
"Apa?" tanya Steven pura-pura tidak tahu, padahal seluruh tatapan keluarganya sangat menggambarkan bagaimana mereka sangat ingin tahu akan siapa sosok Kanaya tersebut.
"Enggak usah pura-pura bego, Kak! Nanti bego beneran loh," sahut Stevan polos, yang ditatap tak terima oleh kakaknya.
"Kamu minta dicekik ya lehernya?" tanya Steven dingin, yang langsung digelengi kepala oleh adiknya yang menyengir kuda mendengar ancamannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Om, nikah yuk! (TAMAT)
Romansa"Om, nikah yuk!" "Anak kecil kaya kamu itu seharusnya kuliah, supaya masa depanmu cerah. Ini malah mau mengajak menikah." "Buat apa kuliah, Om? Kalau cita-cita Naya enggak harus pakai gelar sarjana?" "Memangnya cita-cita kamu apa?" "Menikah sama Om...