Setelah menutup pintu ruangan Steven, Kanaya akhirnya bisa bernafas lega, setelah jantungnya dibuat tak karuan oleh lelaki itu. Dengan kuat, Kanaya memejamkan matanya sembari memberikan pikirannya sugesti agar bisa tetap tenang. Karena perlakuan Steven tadi, nyatanya mampu membuat Kanaya melemah, merasa gugup dan gelisah entah karena apa.
Dengan perlahan, Kanaya berjalan ke arah luar. Sedangkan bibirnya tak henti-hentinya ia gigiti, merasa belum tenang kala otaknya mengingat perlakuan Steven yang memabukkan. Padahal menurut Kanaya apa yang Steven lakukan tidak istimewa, malah dikategorikan biasa. Namun kenapa, hati dan jantungnya seolah bisa berdebar hebat saat Steven melakukannya.
Tatapan lelaki itu, rasanya Kanaya tidak bisa melupakannya hingga mampu membuat tubuhnya melemah. Padahal yang Kanaya lihat, Steven tak benar-benar tulus, lelaki itu hanya menggodanya, Kanaya tahu hal itu. Tapi kenapa, Kanaya justru dibuat kaku oleh segala tingkah lakunya.
"Enggak, aku enggak boleh kaya begini. Yang ada, nanti Om Steven akan menertawakan aku, karena aku terlihat seperti anak kecil." Kanaya menyentuh kedua pipinya, bertekad untuk bersikap sewajarnya demi bisa menaklukan Steven kali ini.
"Seharusnya, aku yang kaya begitu ke Om Steven. Aku enggak boleh lemah, karena aku harus bisa membuat Om Steven suka sama aku. Kalau cuma kaya tadi, terus aku malah pergi, nanti kapan Om Steven suka sama aku?" Kanaya mengembungkan pipinya, merasa bodoh karena telah pergi di saat Steven justru ingin memancingnya.
"Pokoknya, kalau Om Steven menggodaku lagi, aku harus bisa bertahan. Kalau perlu, aku yang akan membuat Om Steven gugup dan salah tingkah. Pokonya aku enggak mau, kalau Om Steven menertawakan aku," ujar Kanaya yakin sembari berusaha memantapkan hatinya untuk selalu kuat menghadapi Steven nanti.
"Semangat Kanaya!" ujarnya sembari tersenyum semangat dengan tangannya menggenggam udara hampa di sampingnya.
***
Seperti kemarin, hari ini Steven ingin fokus menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, supaya dirinya bisa memiliki waktu luang yang cukup untuk makan siang bersama Kanaya.
Aneh memang, bila hidup seorang Steven yang tadinya monoton kini justru lebih berwarna karena kehadiran Kanaya. Gadis konyol, yang selalu mengganggunya dengan segala celotehan ngawurnya. Mungkin untuk kata risi, Steven tak pernah merasa seperti itu, karena ia pikir bila dirinya memang membutuhkan hidup yang tidak harus itu-itu saja. Mungkin ada kalanya, Steven memang membutuhkan sosok Kanaya yang selalu mengganggunya, agar hidupnya sedikit memiliki warna.
Tepat pukul dua belas siang, setidaknya waktu itu yang tengah ditunjukan oleh jam dinding di ruangannya. Membuat Steven menghembuskan nafasnya, merasa lelah juga setelah setengah harian berpikir panjang untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Namun setelah ini sepertinya Steven bisa beristirahat panjang, karena pekerjaan yang seharusnya selesai seharian kini Steven selesaikan dalam setengah hari.
Menakjubkan. Bagaimana mungkin seorang Kanaya mampu membuat Steven melakukan hal ini, meskipun Steven sendiri merasa bila memang dirinya cukup rajin sebelum ini, namun tak pernah sekalipun ia merasa bila dirinya bisa melakukan pekerjaannya dengan penuh semangat sampai seperti saat ini.
Aneh, entah kenapa perasaan itu bisa timbul padahal Steven yakin bila hatinya sedang tidak kenapa-kenapa. Ia pikir begitu, karena Steven yakin bila hatinya belum mencintai Kanaya, namun tingkah lakunya justru menggebu-gebu seolah ia sedang jatuh cinta saja dengan gadis itu.
Memikirkan hal rumit itu, nyatanya mampu membuat Steven tersenyum tipis, merasa konyol pada dirinya sendiri, padahal umurnya sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, tapi kelakuannya justru seperti anak remaja baru jatuh cinta. Dengan perlahan, Steven menggelengkan kepalanya, merasa tak habis pikir dengan otaknya yang mungkin saja mulai eror sekarang, tapi kenapa rasanya Steven justru menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Om, nikah yuk! (TAMAT)
Romantizm"Om, nikah yuk!" "Anak kecil kaya kamu itu seharusnya kuliah, supaya masa depanmu cerah. Ini malah mau mengajak menikah." "Buat apa kuliah, Om? Kalau cita-cita Naya enggak harus pakai gelar sarjana?" "Memangnya cita-cita kamu apa?" "Menikah sama Om...