Part 02

12.7K 556 9
                                    

Malam harinya, Steven pulang dari kantor setelah menyelesaikan pekerjaannya yang cukup menumpuk karena asistennya yang cuti. Di saat seperti ini, hanya ada lelah yang begitu menyiksa tubuh Steven, hingga rasanya lelaki itu tak mampu lagi bila terus berjalan ke arah kamarnya. Itu lah kenapa Steven berhenti di ruang keluarga, berniat ingin mengistirahatkan sejenak tubuhnya di sofa.

Sudah beberapa Minggu ini, Steven mengerjakan semuanya sendiri termasuk jadwal meetingnya yang cukup padat. Tidak ada asisten pribadinya, rasanya cukup melelahkan dan sekarang Steven baru tahu bila menjadi asistennya mungkin tak akan mudah, karena ia sendiri sadar bila dirinya sering menuntut sempurna ke para pegawainya.

"Steven." Suara Mamanya itu terdengar lembut sembari berjalan ke arah putra pertamanya tersebut, ditemani dengan suaminya yang menggenggam erat tangannya.

"Iya, Ma." Steven menjawab lelah sembari tersenyum paksa ke arah orang tuanya.

"Kamu kecapekan ya?" tebak wanita paru baya itu sembari duduk di samping putranya.

"Iya, Ma. Pekerjaan kantor lumayan banyak hari ini," jawab Steven seadanya.

"Makanya kamu cari istri dong!" ujar wanita itu terdengar kesal, membuat Steven menyerngit heran dengan ucapannya.

"Apa hubungannya, Ma. Pekerjaan Steven yang menumpuk dengan Steven yang harus cari istri?" jawab putranya itu terdengar tak habis pikir.

"Iya, supaya kamu pulang kerja itu ada yang melayani, ada yang mijetin tubuh kamu, ada anak-anak yang menyambut kamu penuh keceriaan. Jadi kamu tidak akan merasa berat setelah pulang kerja, karena ada keluarga yang membuat kamu bahagia." Mamanya itu menjawab lugas, sedangkan Steven hanya menghembuskan nafas lelahnya lalu mengangguk saja.

"Iya, Steve. Sudah seharusnya kamu itu menikah, memiliki keluarga. Kamu itu sudah umur tiga puluh tiga tahun, tapi kamu masih melajang." Papanya menyahut tak suka, yang kali ini ditatap lelah oleh Steven yang sudah terbiasa mendengar ceramah orang tuanya.

"Steven cuma merasa belum ada yang cocok saja, makanya Steven masih ingin fokus dengan kantor. Kalau urusan rumah tangga, itu masalah belakangan." Steven menjawab santai, membuat kedua orang tuanya lelah acap kali putra mereka berasalan sama.

"Kamu selalu saja menjawab seperti itu, tapi kamu tidak berpikir bagaimana Mama dan Papa sangat menginginkan kehadiran seorang cucu di rumah ini. Di umur Papa dan Mama seperti ini, seharusnya sudah punya dua cucu atau bahkan lebih. Mama dan Papa juga mau seperti teman kami yang lainnya."

"Terus mau bagaimana lagi, Ma? Steve kan memang belum mendapatkan yang cocok."

"Kamu bukannya belum mendapatkannya, tapi kamu itu memang tidak mau mengusahakannya. Banyak wanita di luaran sana yang mau dekat sama kamu, tapi kamu selalu mengacuhkan mereka. Kamu pikir, bagaimana cara kamu bisa cocok dengan wanita, kalau kamu saja selalu bersikap cuek." Mamanya itu menjawab sarkastik, membuat Steven menyerah untuk meladeninya sangking lelahnya ia malam ini.

"Mama enggak mau tahu ya, kalau dalam sebulan ini kamu belum memperkenalkan calon istri kamu ke Mama dan Papa. Dengan terpaksa, Mama akan menjodohkan kamu dengan Aulia." Mamanya itu kembali berujar, yang kali ini ditatap tak percaya oleh putranya itu, namun tidak dengan lelaki yang duduk di sampingnya, papanya itu justru tersenyum merasa setuju dengan ucapan istrinya kali ini.

"Mama serius mau menjodohkan Steve dengan Aulia?" tanya Steven tak percaya sembari menunjuk dirinya sendiri. Sedangkan mamanya itu justru mengangguk mantap, membuat Steven tersenyum kecut melihatnya.

"Steve enggak mau," tolaknya kesal sembari kembali menyenderkan punggungnya di sofa.

"Makanya kamu cari calon istri! Atau kamu harus menikah dengan Aulia. Dia gadis baik dan dia juga anaknya teman Mama. Dan yang paling terpenting, Aulia sangat mencintai kamu sejak kalian kecil."

Om, nikah yuk! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang