[Prolog]

12.5K 901 111
                                    

PRAKATA ;

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PRAKATA ;

Hai, ini Fivtind. Luka terlaris adalah sebuah cerita klise tentang perselingkuhan di dalam rumah tangga, di mana judul di ambil dari apa-apa yang banyak terjadi di kehidupan nyata. Luka Terlaris; luka-luka paling laris di sebuah rumah tangga, bisa menyangkut apa pun, tetapi perselingkuhan berada pada eskalasi yang cukup umum.

Luka Terlaris tidak hanya berbicara soal patahnya komitmen, tetapi juga rumitnya perceraian, dampak perceraian terhadap anak, efek-efek perceraian terhadap kognisi, serta bagaimana semua itu mempengaruhi kondisi mental seseorang.

TRIGGER WARNING ;

—Cerita ini mengandung isi pemikiran yang detail, pembaca akan menemukan adegan rasa sakit, rasa takut, rasa marah yang dijelaskan dengan sangat rinci.

—Cerita ini mengandung adegan-adegan pemikiran bunuh diri, self harm, insekuritas diri tinggi.

—Cerita ini mengandung adegan-adegan mendiskusikan perceraian, dampak perceraian terhadap anak, keluarga besar, dan lingkungan sosial.

—Cerita ini khusus untuk kamu yang sudah dewasa (berapa pun umurmu, aku harap kedewasaan bisa membuatmu bijak membaca ini).

JIMIN AND CHAN ;

JIMIN AND CHAN ;

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PROLOG ;

Kronologis yang sedikit tidak logis.

Perempuan yang pasang wajah lesu dengan mata sembab itu bukanlah pembukaan semenjana malam yang pantas. Di wajahnya hanya terlukiskan kontur-kontur dari garis sebuah rasa sakit. Ada bulu mata yang menempel ke bawah kelopak, terlalu lengket sisa-sisa air mata. Bibirnya bengkak tapi kering, beberapa kulit merah jambu itu memilih untuk gugur saat pasta gigi tandangi mulut pagi-pagi. Rambutnya masih rapih; gulita seperti langit tanpa surya, lebih dari itu, malam pun tak bisa menginterpretasikan betapa kelamnya gerumul helai panjang itu—dan juga isi kepalanya. Perempuan itu adalah yang ikut-ikutan serigala melolong di bawah bulatnya bulan—tapi tanpa suara; tanpa suara dan diam saja.

Retrofleks thuk-thuk dari jam dinding terdengar meledek. Chan yang lunglai dengan katalog dari sebuah butik kecil-kecilan yang ia bangun sendiri, nampak sama-sama melamun. Kertas-kertas mengilap khas majalah itu tak pantulkan lampu; sebab ruang tamu ini sama kelamnya seperti rambut dan isi kepala. Chan hanya diam pandangi kekosongan, yang di sana bulan memberikan bayangan pada cakar-cakar pohon di luar jendela. Perasaannya kacau sejak bulan lalu; dan bukan melompat-lompat sebagaimana lebih bisa ia syukuri. Chan hancur dalam sebulan, dan itu jelas setiap hari tanpa henti.

Gradual yang terlalu mencekal-cekal napas. Awal kesakitan itu hanya sebuah kerenggangan. Lalu berlanjut terlalu jauh sampai keadaan yang dingin mengalahkan suhu di tengah malam. Hari ke hari tidak membaik; jauh, jauh, lalu tidak bisa dikalkulasi seberapa jauh jaraknya. Hanya jauh, sampai Chan rasa ia tak mampu lagi meraih apa yang sebelumnya pernah berdiri begitu dekat dengan daksanya. Bahkan ketika jemari-jemari hatinya mencoba menyentuh, yang hanya bisa telunjuknya raba, adalah luka sendiri. Chan tidak bisa baik-baik saja ketika keadaan dan perasaan sama berkarunya. Ia hancur karena ketololan takdir. Dan dirinya yang pengecut akan senantiasa menjadi manusia bisu yang sengap selalu. Chan benci Jimin.

Chan benci sekali dengan suaminya itu.

Ya, seharusnya ia tidak perlu tahu. Kalau sudah begini, semua terasa mirip seperti manusia yang menenggak racun dengan tangan sendiri. Chan menyesal harus membuntuti Jimin pagi itu. Menyesal harus penasaran dengan tingkah suaminya yang sistematis rapih dari menjaga jarak sampai bersikap dingin. Menyesal pula harus punya keberanian sebesar itu untuk diam-diam mengintipi lelaki sialan yang begitu ia cintai di ruang kerja—yang asik bercumbu dengan wanita; jelas itu bukan dirinya. Chan menyesal sebesar langit dan bumi karena mengetahui realitas yang tergambar jelas di kedua matanya. Dan sekarang ia hanya bisa melamun saja setelah air mata minta ampun padanya, sebab tenggorokan pun belum basah dengan air, dan mereka tak punya cairan yang cukup untuk dikeluarkan lebih banyak. Chan menunduk untuk membaca kekosongan pada katalog butiknya saat pintu depan dibuka pelan-pelan.

Jimin datang dengan langkah sunyi, tapi ada suara tertahan—seperti kaget—saat melihat Chan duduk gelap-gelapan di ruang tamu; tapi anehnya sedang membaca. Apa yang dibaca ketika sinar disedot oleh saklar yang turun? Jimin biasanya penasaran, tapi sekarang ia lebih bertendensi pada tak habis pikir. Apa Chan baru saja punya indra yang lain?

"Aku pulang," Setelah dehaman yang ragu, Jimin berusaha terlihat tidak tegang. Kepulangannya memang janggal. Tapi kemarin-kemarin ia sudah terlalu jemu dengan Chan yang bertanya ini-itu, mencurigainya melulu. Mulut Chan yang cerewetnya kadang-kadang melebihi suara vespa tetangga, memang perlu diberi pelajaran. Ia mulai bosan pada semua perhatian Chan, atau keposesifan perempuan itu sebulan ini. Bukan Jimin tak senang Chan jadi begini lengket padanya—ia hanya merasa sudah tak butuh lagi kebiasaan-kebiasaan yang selama hampir sembilan tahun ini melekat pada hidupnya. Jadi karena kemarin-kemarin ia pulang pukul sebelas malam dan Chan sudah berkacak pinggang di depan pintu rumah, maka sekarang ini Jimin memilih untuk pulang tengah malam. Tapi oh, rupanya perempuan itu tak mudah hancur kegigihannya; masih terjaga juga.

"Ya," Chan tanggapi kalimat Jimin seadanya. Katalog masih dibaca, kendati huruf-huruf hanya terbaca remang karena gelapnya radikal. Dan Jimin masih saja berdiri di sana, entah sedang apa—Chan hanya tengadahkan kepala, lalu menatap hitamnya lelaki itu dengan datar. Katalog ditutup pelan, dan ia mengambil selimut di dekat kaki—yang memang sudah ia siapkan sejak pukul sepuluh tadi. Saat ia bergerak hendak merobohkan diri di atas sofa, pertanyaan heran Jimin masuk ke telinganya; "Tidur di sini?" Yang hanya Chan jawabi dengan hening, lalu rebahan daksa yang lelah, dan gerak memunggungi pelan seraya bergumam; "Good nite," dengan nada sengau. Lantas entah di menit keberapa Jimin sudah hilang dari belakang punggungnya, Chan hanya mengusak wajah pada bantal sofa saat air matanya yang tak bertenaga, lagi-lagi menurunkan hujan di pipinya yang lengket.

Ah, Jimin. Mengapa cinta dan benci harus menyatu seperti sebuah garis? Ujung kiri dan kanannya punya nilai yang berbeda—baiklah, Chan akan mengingat Kangji untuk menyembuhkan perasaan sakitnya. Esok lusa, ia hanya perlu kumpulkan kekuatan sedikit lebih banyak untuk kembali membuntuti Jimin dengan kekasih baru lelaki itu. Ini memang terlihat seperti bunuh diri; tapi Chan suka. Dan ia malah tertawa saking sakitnya.

__

[Hai, semoga saya konsisten]

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang