[Sembilan]

3.9K 541 183
                                    


Sejemang setelah Chan bangun, hening menjadi satu-satunya suara yang berisik di dalam mobil. Gelap sekali, hanya lampu di beranda rumahnya yang menerpa sayup-sayup menembus kaca depan. Taehyung tatapinya sinis, seolah menunggu adalah pekerjaan paling hina sepanjang lelaki Song itu hanya jumpai komputer, rapat besar perusahaan, dan pegawai cantik; hal-hal yang Chan tangkap untuk orang-orang elit. Chan menguap sebentar dan merasa bingung juga mengapa Taehyung tidak menitahnya untuk segera turun—barangkali akan terlihat lebih Taehyung andai lelaki itu mengusirnya dengan segera, kan? Chan balas tatapi Taehyung dengan mata mengantuk, dan lelaki itu turun dari mobil untuk setelahnya berjalan ke arah pintu mobilnya. Chan tengadah kepala saat wajah Taehyung berada di atasnya dengan ekspresi sama dingin dengan udara pukul—Chan lihat jam Kangji sebentar di tangan—oke, pukul dua lewat sekian.

"Ada apa?" Chan bertanya dengan suara serak, dan tangan kecil itu mengambil sejumput rambut untuk di selipkan antara lipatan telinga, Taehyung amati dengan sebal. Waktunya habis begitu banyak hanya untuk manusia seperti Chan—sesuatu yang sama sekali tidak masuk ke dalam kewarasannya; ya, setelah ia memikirkannya sedikit lebih integral. Decakannya tertahan di kerongkongan, dan menyentuh sedikit jantungnya yang berdegup terlalu sialan; seolah Chan adalah bahan peledak yang bisa kapan saja merayu-rayu rasa marahnya. Kalau boleh jujur, Taehyung berkarsa untuk baku hantam babak kedua dengan Chan—bagaimana bisa perempuan itu lupa kalau kaki kecilnya sedang disfungsi? Taehyung bahkan tidak tahu, apakah Chan becus menjadi ibu atau malah sebaliknya. Jangan-jangan setiap pagi perempuan itu akan melupakan telur sampai gosong di atas penggorengan, atau melupakan rebusan spageti sampai mereka terlalu lembek dan langsung hancur ketika sumpit menyentuh-nyentuhnya. Taehyung membayangkan wajah Chan yang seperti ini—polos serempet bodoh—ketika Jimin bertanya mengapa semua bisa terjadi. Oh, pilihan Taehyung adalah yang terbaik untuk hidup sendiri, semua perempuan adalah makna paling lurus dari pada kesialan.

"Kakimu itu 'kan lumpuh dadakan," Taehyung memperingati dengan wajah dingin, dan Chan justru merasa hangat saat angin malam menerpa pipinya dari pintu yang terbuka—Chan baru tahu kalau lelaki Song menyebalkan ini bisa bersikap seperti manusia juga. Dan ia baru ingat bahwa kakinya kebas bukan main. "Tapi, Taehyung, aku akan sembuh, kan?" Jujur saja Chan takut. Ia tidak pernah sekali pun tidak bisa menggerakkan kakinya—mungkin tadi ia terlalu rakus mengambil kilometer yang ditempuh di pedestrian, atau ia memang sinting karena Jimin tidak juga pulang dan memberinya beberapa harapan seperti hari-hari kemarin. Chan takut lumpuh, takut tidak punya alasan untuk mengambil Kangji pada hak asuhnya andai perceraian benar-benar terjadi. Barangkali ia akan bunuh diri saja, atau lakukan hal lebih gila dari itu, yang bisa menjambak-jambak rasa sakitnya seperti sebuah jangkar tersangkut di kerongkongan dan seseorang menariknya paksa untuk keluar lewat mulut. Chan tidak bisa bayangkan jika ia memang akan kehilangan fungsi kakinya—sedang Kangji begitu suka ia kejar, begitu suka berlarian di dalam rumah. Chan akan kehilangan separuh pekerjaannya kalau kakinya hilang, dan ia benci tidak bisa tenang soal ini.

Chan mendengar decakan Taehyung yang terlanting keras. Ia tengadah kepala setelah tanpa sadar menunduk terlalu dalam. Pipinya dingin sekonyong-konyong, dan Taehyung hampiri kulitnya pada bagian ini dengan wajah yang galak sekali. "Tidak usah menangis. Astaga," Chan tahu Taehyung menahan sesuatu dalam dirinya—barangkali karsa untuk menghajarnya? Ah, Chan juga tidak tahu mengapa selalu mudah menangis kalau itu soal Kangji, tapi akhir-akhir ini emosionalnya memang lebih sulit dikontrol ketimbang putaran waktu yang masih bisa ia sisihkan sekian-sekian untuk ini dan itu. Pipinya diusap sedikit kasar oleh Taehyung, gerak ragu yang Chan terimakasihkan dari lelaki itu. Tatap mata lelaki Song  itu senantiasa penuh dengan aura gelap, Chan tahu ia menyebalkan. Gurat alis itu berada dalam tukikan tajam, dan entahlah, itu menjadi sesuatu yang pas ketika rahang tajam Taehyung mencetak sedikit otot yang tegang—Chan rasa, ia benar-benar akan jatuh cinta pada si Song ini andai ia hanya sekadar gadis biasa yang sebelumnya tidak pernah menikahi siapapun, dan tidak pernah pula menitipkan hal serupa kama dan kawannya pada siapapun juga. Tetapi sayang sekali, Chan adalah Chan yang mencintai Ryu Jimin seluas lembar biru semesta, dan sebasah samudera yang menyebrang-nyebrang garis bumi untuk satukan benua-benua yang akrab. Sayang sekali, lagi, Chan adalah seorang ibu yang mencintai bocah lelaki yang pernah ia gratiskan hidup dan menghangat di dalam rahimnya—dirinya hanya separuh, dan separuh lagi direnggut paksa oleh kandungnya. Chan sudah menjadi, dan sudah pernah menjadi milik seseorang, jadi Taehyung yang sangat tampan di hadapannya ini terasa terlalu biasa saja untuk detak jantungnya yang harusnya begitu keperempuanan.

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang