[Tiga]

4.3K 641 242
                                    

[THAT'S MY SON]

[Cast : PJM || Chan || Kangji]

[Genre : Family-Hurt] [On WP : @Fivtind]

__

"Sayang, rambutmu berantakan. Tunggu sebentar biar aku sisiri," Chan ingat ia terus berusaha mendekatkan diri, melipat jarak yang terbentang antara dirinya dan Jimin. Pagi itu, agaknya mentari masih terlalu malu untuk menyentuh langit yang tinggi; mungkin karena masih mengantuk, atau boleh jadi karena tidak suka warna navy langit. Jimin terlihat bertalah-talah, ia turun tangga dengan tergesa; bahkan sahuti Chan pun dengan nada buru-buru. "Maaf, Chan, aku buru-buru," katanya dengan langkah kaki panjang-panjang, lantas meninggalkan Chan yang berselimutkan celemek kuning dengan beberapa peperan tangan kotor yang belum dicuci sejak dua hari lalu.

Jimin berubah. Sekarang jam kerjanya maju beberapa jam. Biasanya lelaki itu akan terus menggerutu karena mesti rapat pagi buta, tetapi sekarang kaki-kaki panjang itu akan dengan senang hati pergi ketika mentari bahkan belum bangun sama sekali. Chan bertanya-tanya, kantor mana yang sudah buka pada pukul lima lewat tiga menit? Chan mungkin tidak kuliah karena konservatisme yang dianut oleh keluarganya. Tidak pula ia begitu cerdas seperti Kangji. Ia hanya seorang bocah yang jenjang pendidikannya tersangkut sampai menengah atas, dan begitu suka membaca. Dan dari ratusan buku yang pernah masuk ke dalam kepalanya, Chan tidak ingat bahwa kantor bisa beroperasi sebelum matahari terbit. Jadi setelah Jimin melangkah jauh dari pintu depan, dan deru mobil meraung-raung manja, Chan hanya tersenyum miris saja. Ah, ingatan menyedihkan ini begitu menyebalkan. Dan andai Kangji tidak datang dengan cengiran lebar, pasti Chan akan terus hanyut di air-air kesakitan yang melaut tenggelamkannya bersama ingatan menyakitkan.

"Ma, hari ini Mama tidak pulang larut lagi, kan?" Kangji memeluk lengan Chan manja, mengusak wajah di bahu kecil ibunya, lantas pasang wajah penuh kerinduan. Chan yang semalaman sudah menangis untuk meminta maaf pada Kangji, pagi ini tentu merasa begitu senang bisa mengiyakan apa maunya bocah ini. "Tentu saja. Kita akan menghabiskan waktu berdua setelah Kangji pulang sekolah," Chan menjawab girang sembari mengusap pipi kurus anak sematawayangnya. Perasaannya terasa menguat saat melihat Kangji dengan wajah rindu, bermanja-manja dengannya tanpa malu. Biasanya bocah lelaki itu sudah tidak mau lagi begini lekat dengannya. Terkadang mesti protes juga ketika Chan menjemput sepulang sekolah degan ciuman di pipi. Katanya; "Ma, jangan cium di sini, dong. Banyak teman perempuanku," dengan alis jengkel yang lucu. Tapi sekarang, Chan merasa sedikit lebih baik saat Kangji begitu lengket dengannya, terus-terusan membuat lelucon, dan tidak berhenti menarik pikirannya hanya tertuju pada bocah itu saja. Jimin sudah hilang entah kemana. Kesakitannya yang begitu dalam menikam dada, tidak terasa lagi perihnya. Kangji membuat Chan merasa bertanggung jawab untuk mengubur semua luka-lukanya agar senantiasa bisa menjadi lebih kuat lagi. Betapa bocah ini bisa membuatnya terus-menerus tersenyum karena tingkahnya yang menyebalkan dan lucu.

"Yess! Kalau begitu ayo kita sarapan yang banyak. Aku harus mengonsumsi banyak nutrisi untuk memanjakan Mama," Kangji berujar girang seraya melepas pelukannya dari lengan kecil sang ibu. Kakinya beranjak semangat ke arah meja makan. Menghirup bebauan masakan yang sudah tersaji lengkap dengan halimun yang beterbangan di atasnya. Menghantarkan wewangian menyenangkan ke dalam lambungnya. Chan terkekeh karena kalimat yang dilanting begitu sialan dari mulut anaknya. Langsung saja ia hampiri bocah lelaki itu yang sedang menghirupi wangi-wangi masakan, lantas menjitak kepala berambut hitam itu dengan gemas. "Dasar, Jo. Berhentilah bertingkah seolah Mama ingin kamu manjakan!" Chan berteriak sebal dengan nada gemas. Ada lirikan sinis yang dibuat-buat, dan dibalas tawa kencang dari Kangji.

Segera bocah itu duduk di kursi, dan siap menyantap masakan enak ibunya. Sementara mulutnya tak berhenti tertawa. "Memang begitu, kok, kenyataannya. Mama 'kan manja. Waktu itu siapa yang menangis saat aku sakit?" Kangji ajukan jejaki ingatan dengan alis yang naik meledek. Sedang Chan akhirnya ikut tertawa. "Dasar anak ini. Hey, menangis itu bukan indikasi manja, tahu. Mama itu khawatir padamu, Kangjiii," Chan merasa gemas setengah mati pada anaknya sendiri. Benar-benar, menyebalkan sekali alis yang bergerak meledek itu—Chan ingin cukuri saja. Kangji lagi-lagi tertawa, dan Chan cemberut tak suka. Kalau dengan Kangji, entah mengapa ia akan banyak kalah. "Itu sama saja, Ma. Mama menangis karena takut tidak bisa lagi bermanja-manja dengan Kangji, kan?" Dan pertanyaan itu membuat Chan mesti bersungut-sungut sambil mengaduk susu panasnya.

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang