[dua puluh]

4.6K 544 333
                                    



Pukul sepuluh, kepulangan lasak, bagian sehari-hari di mana memang biasanya Chan ambil opsi jalan kaki ketimbang naik bus dua kali pemberhentian dekat. Hening menyambutnya cukup ramai, desibel lesap, terkaan lain masuk berupa Kangji yang masih asik dengan bunga-bunga tanpa raksi di tidurnya. Karena tidak ada tengara lain yang hinggapi lantai rumah, atau hangatkan dinding dengan karbon—oke, selain dengkur—Chan yakin Kangji memeluk gravitasi dan masih cukup tunak memejam di bawah kungkungan selimutnya. Chan edarkan pandangan, lampu tidak mati semua dan jendela memuntahkan cahaya dari korona pecah mentari pukul sepuluh ini. Kedua tangan Chan masing-masing sibuk genggam leher plastik putih, pada kirinya berisikan kue yang Taehyung belikan. Barusan di sana, saat Chan putar ingatan, toko kue yang cukup bagus dan selama ini Chan lumayan sering tandangi—namanya Eric Keyser dengan arsitektur cukup hangat, kekuningan, dinding bata, dan estetis—memperlihatkan padanya harga diskonan. Chan awalnya tidak berpikir untuk membeli, tetapi pekikkannya sendiri lanting sua santer, cukup berhasil rebut atensi Taehyung, lelaki itu lirikinya dengan jengkel karena setelah tawaran untuk membeli justru ia sendiri menolak. Tentu saja, Chan sudah punya adonan setengah jadi untuk dibuat kue ulang tahun, dan niatnya ke Lotte Mart hanya untuk hiaskan pucuk bolu buatannya nanti. Tetapi Taehyung punya satu sisi paling gesit yang baru Chan sadari, si Song itu cekatan dalam berpikir dan selalu mudah menerka sesuatu. Taehyung bilang; "Kau bukan Tuhan yang bisa menghendaki kapan Kangji akan bangun dan tidur. Kalau kaukembali dan bocah itu sudah bangun, pesta dadakan itu akan gagal. Tamat." Sesederhana itu, tetapi Chan tetap kalah dan malah membeli kue diskonan yang kelihatan mengejeknya di poster. Meski Taehyung kelihatan lebih suka desain elegan lainnya di etalase, Chan bersikukuh pilih yang diskonan itu, dan Taehyung sedikit mempermasalahkannya lalu debat kecil terjadi di sana.

Chan mendecih sambil tertawa kecil, agaknya dengan Taehyung ia benar-benar cukup banyak bicara. Seperti pertukaran tempat kalau dimetaforakan, maka Taehyung adalah Chan ketika Kangji bersamanya—yang ditanyai terus-terusan, yang disuruh menjelaskan banyak hal. Chan merasa bersalah tapi dia menikmati seluruh detik, menjelma kembar jam, merebut banyak atensi yang biasanya betah pada hal-hal menyakitkan. Paling tidak, apa yang Taehyung tidak janjikan sama sekali, justru menjadi sesuatu yang Chan dapat; Chan lupa bagaimana Jimin menyebut-nyebut nama Suljin penuh ketulusan. Dan oke, sekarang dia ingat lagi. Tapi Chan segera letakan belanjaannya, pada kanan, ia mengais dua plastik kecil berisi topi ulang tahun—katanya kalau kebanyakan bisa buat di sekolah nanti, barangkali Kangji butuh berpesta dengan teman-teman—dan lilin lusinan kecil berwarna-warni. Digenggam yang sama pada kanan, Chan juga selipkan paper bag kecil, isinya singlet putih lelaki ukuran Taehyung. Taehyung sering pakai XL—katanya—karena suka sedikit longgar, sedang Jimin biasanya L kendati itupun sudah cukup menenggelamkan badannya kalau Chan yang pakai. Tapi kali ini, Chan beli ukuran Taehyung karena mau saja, barangkali yang lebih besar lebih enak dipakai di rumah, toh Taehyung juga yang belikannya singlet itu, tiga buah, peresih, bermerk, dan terlalu berlebihan dibungkus dengan paper bag berlogo adidas. Tapi begitu kalau di supermarket sekelas Lotte Mart, sub-tokonya cukup banyak meski kecil-kecil.

Chan letakan semuanya di meja ruang tamu, pikirannya sudah membekuk terka bahwa Kangji masih tidur—ini empiris karena sebenarnya keheningan yang terlalu, jadi tengara paling baru. Lalu ia melangkah ke kamar, berniat susul Jimin untuk mempersiapkan pesta kaget sederhana, tetapi daripada ia lihat lelaki itu duduk menunggunya, justru Chan dapat lebih. Jimin sudah mandi, rambutnya basah meski kelihatan sudah dihanduki, helai patah-patah dengan sisiran rapih membuka dahi. Lelaki itu kenakan kemeja putih bergaris tipis kelabu, hampir terlihat polos kalau Chan tidak jeli, dengan kerutan rapih pada bagian lengan dan pinggul yang dimasukkan ke dalam celana hitam bahan licin. Hem itu terlihat selalu cocok dengan bahu Jimin yang cukup bikin Chan selalu merindukannya, dibeli saat-saat Jimin harus hadiri pertemuan ketika para investor REITs berkumpul, dadakan, sebagai undangan mengobrol biasa antar pengusaha, itu beberapa tahun lalu, sudah lama sekali. Apa kemeja itu tidak berada di liniear paling bawah? Chan tidak mau repot-repot membayangkan bagaimana Jimin menarik kemeja itu, karena seingat Chan, kemeja Jimin yang baru dan sering dipakai, semua tergantung apik di lemari khusus baju kantor, dan tidak dilipat. Tetapi Chan tetap membayangkannya sesebentar mungkin, karena setelah detik berangsur punah dengan sendirinya, ia tatapi bagaimana Jimin berbalik dari kaca dan tersenyum kikuk padanya—kelihatan agak tergegau—sambil bilang; "Maaf, aku belum cerita ini, tapi sebenarnya aku bangun proyek baru sejak dua bulan belakangan. Jadi aku harus pergi karena ada meeting yang aku lupakan."

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang