[empat belas]

4K 587 221
                                    


Luka-luka yang telah dirumuskan begitu rapih, tidak akan sembuh dengan kronik yang cepat. Ceritanya melanglang jauh, berputar pada titik-titik yang elusif, dan menghancurkan dengan sedemikian sistematis; sehingga yang menyimpannya tidak pernah juga menjadi begitu paham cara-cara mudah untuk menetralisir rasa pedihnya. Setelah keluar dari kamar yang di dalamnya Chan merasa bukan mengirup napas—Itu terasa lebih kental dari udara, sakit sekali acap kali masuk ke kerongkongannya—ia hanya sibuk mengatur nyeri di dadanya yang berdentum sebanyak jantungnya menggerutu di dinding paru-paru. Ia ingin menghentikan detaknya yang egois dan menyakitkan, tetapi benar sekali satu-satunya yang bisa menghentikan debar hanya kematian; dan haruskah? Chan tahu ia merasa merdeka ketika kalimatnya melayang-layang bebas seperti burung gereja kecil sore hari, tetapi tidak benar kalau ia bilang baik-baik saja setelah jujur mengenai ini semua. Kakinya sekonyong-konyong gemetaran, dan bibirnya juga, bergerak-gerak abstrak, ingin mencibir tetapi suaranya mengendap di lambung; Chan dan ketakutannya hidup meraja dalam tubuh.

Semuanya terasa begitu cepat, Chan ingin menangis di ruang televisi, tetapi dirinya sadar, ia ingin meraung-raung seperti harimau dikuliti—demi kesenangan para pemburu yang mendamba kulitnya. Ia ingin berteriak dan memaki Ryu Jimin yang sudah semena-mena mendestruksi separuh hidupnya, yang padahal sudah begitu bulat lelaki itu genggam dalam telapak tangan yang dulu selalu menangkup pipi penuhnya. Chan bukan hanya ingin sekadar mengukir sungai di pipinya, menghablurkan kaca-kaca pada dinding netranya dan memecahkan itu untuk menggantung di dagu. Chan tidak hanya mendamba isak sengap dalam gelita ruang televisi, lebih dari itu, Chan ingin menjerit sampai urat lehernya ikut berdemonstrasi perihal kesakitan dalam dadanya. Chan ingin menangis yang kencang, dan itu berarti ia perlu pergi dari sini. Sejemang ia melihat dinding, di sana informan waktu memeluk cat tembok yang gelap, dan jarumnya yang bungsu menunjuk angka sepuluh, hampir sebelas. Chan letakan selimut yang dari tadi ia remat sampai buku-buku jarinya kebas dan perih ketika ia melepas, kemudian karsanya membayangkan cuaca di luar yang cukup membunuh pada musim semi pertengahan April ini.

Chan tidak punya diskursus yang pantas untuk bekerja di kepalanya saat-saat sedang seperti ini. Selimut nampak tak berdaya, duduk-duduk lemas di sofa ruang televisi, dan ia kosong memandangi jam dinding yang detiknya terus merangkak pada angka yang lebih besar, dan kembali pada yang paling kecil; sampai tiga-empat putaran. Dadanya terasa begitu sempit, entah apa yang memenuhi, Chan tidak tahu berapa jenis gas selain oksigen dan karbondioksida yang bertukaran, yang ia tahu hanya Jimin—penuh di dalam sana, tetapi terdengar mustahil kalau hanya Jimin saja, kendati memang yang Chan tahu begitu. Kakinya masih bergetar gecil, dan ia tidak bisa menghentikannya. Persis seperti kedutan pada pelipisnya yang berdenyut dan terasa jelas di kulit-kulitnya, tetapi ia tidak bisa berpikir dari mana semua itu datang mengganggu tubuhnya. Chan hanya mengerti dirinya perihal yang tunggal; ia ingin menangis sekeras-kerasnya. Chan tahu ia tidak mampu menampar Jimin meski ingin, atau benar-benar menusuk-nusuk tubuh lelaki itu dengan pisau dapur, jadi ia hanya diam saja, sambil sesekali sebelum jarum detik membentuk vertikal, tangannya akan ke pipi menghapus yang basah. Chan menahan sesuatu, dan tenggorokannya juga terasa gemetaran, ia menyentuh leher, dan di sana ada teriakan yang dipendam kuat-kuat. Tetapi, apakah pilihan yang bijak sebagai orang dewasa kalau ia harus pergi malam-malam begini? Lagi? Chan bingung, jam di sana terus berputar, terus melimpahinya dengan waktu.

Sengap sekali, lantas Chan pilih pergi. Kakinya melangkah lunglai tapi cukup terlihat terburu, telapak telanjangnya bahkan memburu sandal dengan tergesa, sedang kedua tangannya memegangi pintu untuk menguatkan langkah selanjutnya. Ia berusaha pergi diam-diam, tetapi justru tangannya yang gemetaran menyenggol vas bunga dan secepat itu juga ia bergerak spontan menangkapnya sebelum benar-benar memerdekakan suara di tengah keheningan ini. Dengan gemetar yang makin hebat karena takut ketahuan soal kepergiannya ini, Chan letakan lagi hati-hati vas itu di meja bulat dekat jendela di beranda. Lantas kakinya terseok-seok mencipta suara gesekan yang ia sesalkan, sampai akhirnya benar-benar berlari setelah melewati gerbang rumahnya yang berderit karena karat tanpa menutupnya kembali. Pikirannya tidak terlalu penuh, dari pada itu, terkesan kosong. Seolah ia memang tidak memiliki apapun untuk dipertimbangkan selain menangis, menangis, dan menangis. Semuanya tertinggal pada pemikiran yang lain—yang tidak sempat ia pikirkan—seperti dirinya yang masih mengenakan kaus abu-abu longgar, dan celana hitam ketat selutut. Serta rasa tidak nyaman yang harusnya bisa menarik spontanitasnya, tetapi tidak, rambutnya berantakan dengan kundaian yang hampir sepenuhnya lepas—sisakan lilitan yang sedikit demi sedikit benar-benar mencapai punggung, dan Chan mengabaikan itu.

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang