[THAT'S MY SON]
[Cast : PJM || Chan || Kangji]
[Genre : Family-Hurt] [On WP : @Fivtind]
__
Entah ini hari ke berapa ketika Chan lagi-lagi pulang larut. Ia terlalu banyak menghabiskan waktu di butik, dalam ruangan yang sengaja pendarnya dibunuh-bunuh saklar mati. Dan udara terasa pengap kendati dinginnya menikam epidermis saat malam sudah mengantungi senja yang hangat. Chan banyak melupakan dan mengabaikan sekeliling. Ia tidak menerima siapapun mengetuk ruang pribadinya, bahkan untuk sesuatu hal yang penting sekali pun. Ia mengisolasi diri, melupakan Kangji, melupakan Jimin, melupakan mengapa rambutnya terasa gatal—belum keramas kah? Atau belum mandi? Chan sibuk sekali dengan ketakutan-ketakutan yang membuatnya tidak mau berhenti menangis dalam diam, menjerit tanpa suara, dan meraung-raung dalam hati saja. Matanya sembab, kepalanya pening dan gatal, serta bibirnya kering—apakah ia juga lupa makan dan minum? Chan tidak bisa banyak memikirkan hal lain selain tentang Jimin dan apa yang telah lelaki itu lakukan di belakang punggungnya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa tidak bisa menjadi kuat untuk sikapi ini.
Langkah kaki Chan gontai di semenja malam ini. Ia menangis di jalan, tapi air matanya tidak mau keluar. Hanya ada ringisin kecil dan isak sesak yang fluktuatif di kerongkongannya. Dadanya sempit oleh entah apa; begitu besarnya, memenuhi semua ruang-ruang kosong, sehingga entah benda apa itu, menyentuh jantungnya sedikit kasar, membuatnya mesti memegangi dada karena nyeri yang tak tertahankan. Ya Tuhan, Chan tidak mau menjadi gila di jalan yang sebentar lagi menuntunnya sampai rumah ini. Chan harus memastikan Kangji sudah lelap atau belum, kendati ia juga menangis karena itu; "Mama minta maaf, Kangji. Maaf mama mengabaikanmu. Mama bukan ibu yang baik untukmu," yang lantas saja membuatnya lagi-lagi menangis dengan sisa-sisa tetesan air mata yang hampir kemarau.
Chan bukan ingin mengabaikan Kangji. Ia hanya tak bisa menyembunyikan kesakitannya yang terasa perih di dada. Sesuatu di balik netranya selalu ingin menerabas tabu-tabu konstruk sosial—menyoal menangis adalah indikasi kesakitan. Chan jelas tidak bisa menghentikan air matanya berlalu lalang sembarang. Dan ia tak ingin siapapun melihat kebodohan sinting ini. Jadi ia hanya memenjara diri, memblokade semua orang yang ingin berinteraksi dengannya, mematikan ponsel, mengurung diri di ruang pribadi di butik, lantas hanya diam saja di sana dengan ketakutan yang berenang-renang di udara. Ia mencoba mencari-cari titik terang untuk menyelesaikan masalah ini. Menerka-nerka seperti apa sakitnya kalau ia mesti menghancurkan rumah tangga yang sembilan tahun ini sudah dibangun begitu tulus. Mencari-cari seperti apa bentuk luka yang akan tandangi perasaannya kalau ia mesti melepas Jimin dari genggam tangannya yang mulai terasa adaktil ini. Chan hanya menangis dan merenung seperti si dungu yang tidak bisa menemukan pendar apapun di dalam kepalanya yang kosong. Chan terlalu takut kehilangan Jimin. Ia terlalu takut.
Bagaimana Jimin melumati bibir perempuan cantik waktu itu, bukan saja terus terngiang-ngiang di kepala. Chan merasa fragmentasi itu merasuki urat nadinya, menggelantungi saraf-saraf dalam tubuhnya, memancing kedua matanya untuk berhujan lagi dan lagi. Begitu dekatnya semua ingatan hitam itu dengannya—Chan bahkan tidak bisa meredakan kemarahan yang begitu menggelegak tapi terpenjara. Ia ingin menghujani pergelangan tangannya dengan gunting, dengan cutter, dengan pisau dapur—karena Jimin ada di sana, mengalir-ngalir di uratnya yang ungu dan biru. Jadi Chan ingin memotong itu untuk menyudahi semua deliriumnya yang mematikan. Tapi Chan tidak bisa menemukan benda tajam di sekitarnya; dan agaknya ia juga tidak bisa meminjam itu pada karyawannya di luar ruangan. Jadi Chan hanya menggigit tangannya sendiri; ya, sampai gigi-giginya puas menyalurkan kemarahan. Kemudian ia akan tertawa sebab kegilaannya yang tak berujung. Dan Jimin datang lagi dengan wanita itu, berciuman di depan matanya, lantas hujan lagi-lagi turun di pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK I
FanficJimin tidak pernah jatuh cinta pada istrinya, Chan. Relasi suami-istri yang ia jalani selalu hangat karena Chan adalah perempuan baik, penyayang, dan sabar. Jimin mengakui bahwa Chan sempurna, baik untuknya maupun untuk Kangji, putra semata wayangny...