[Lima belas]

4.1K 583 373
                                    


Kesadaran menarik kelopak matanya saat ia terbangun begitu saja atas tidur yang panjang; entah mengapa terasa sangat cukup, atau bahkan lebih. Seperti orang yang lelap pada umumnya, ketika nyawa datang dan langsung selonjoran pada raga, Chan membuka mata pelan-pelan dan mendapati kehangatan tubuh serta udara yang tidak terlalu dingin—sebagaimana ia mengenal udara di kamarnya. Ia memikirkan kejadian tadi malam perihal insiden penuh air mata itu, dan ingat pesan Taehyung bahwa ia mesti memastikan kakinya tidak mengulangi kecacatan yang sama; apalagia atas kebodohan yang sama pula, jadi tentu ia menggoyangkan kakinya pelan untuk memvalidasi estimasi; bagusnya mereka berdua sehat. Sebelum benar-benar pergi, Taehyung menyempatkan diri bilang padanya bahwa ia harus berhenti tolol dan jalani hidup sedikit cerdas, membuatnya menjubeli pikiran dengan hal-hal semacam kepesimisan, tetapi kantuk konfigurasinya lebih  kokoh dan ia lelap begitu saja sebelum sempat menangis lagi karena kekurangannya sendiri—begitu saja hilang kesadaran di sofa. Oke, Chan edarkan pandangan setelah ia sadar bahwa daksanya melakukan transisi ajaib dengan berbaring di atas kasurnya—berbau mirip sekali; baunya sendiri, dan ada sedikit bau Jimin yang berbunga—dengan selimut yang senantiasa membungkus rapih sampai leher, dan semua dekorasi persis kamarnya ini terproyeksi terlalu nyata di depan mata. Siapa yang memindahkannya? Chan bangkit, duduk dengan panik sampai selimutnya jatuh tergulung lamat-lamat di perpotongan pahanya; dan Jimin ada di sana, ada di kursi meja riasnya.

Lelaki itu terlihat mematung dengan pandangan kosong pada cermin, bahunya lunglai dan Chan berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang harus ia hadapi setelah ini. Rambut Jimin tidak berantakan sebagaimana biasanya lelaki itu baru bangun tidur, atau baru mandi; biasanya kalau bangun tidur helai di kepala Jimin benar-benar kejang seperti habis menantang petir di bawah pohon, dan kalau habis mandi mereka semua berjatuhan karena basah, lantas gesekan handuk yang kasar membuat helai-helainya kusut dengan sisa-sisa tetesan yang ragu, tetapi Jimin tidak keduanya sekarang ini. Dan bahkan lelaki itu tidak berpakaian sebagaimana orang bangun tidur, Chan bisa lihat dari jerjak-jerjak kursi yang bagusnya tidak ditumpuki baju seperti biasa, punggung Jimin yang membelakangi dengan kaus santai—tetapi bukan kaus oblong yang sering dipakai tidur; tidak, itu lebih seperti pakaian akhir pekan?—terlihat cukup layu. Chan bertanya-tanya mengapa ia masih menangkap presensi yang biasanya sudah kalang kabut seperti orang telat satu jam kendati mentari belum juga menguap dan memuntahkan relapnya.

Chan memutar pandangan sebelum membuat Jimin sadar bahwa rohnya sudah benar-benar menyambangi raga karena tidur yang panjang dan lelap, atau mungkin karena kekagetannya sendiri karena sudah melakukan teleportasi saat dengkur harusnya tersua halus-halus tipikalnya kalau nyenyak. Matanya melebar saat melihat jam dinding, berputar tanpa rasa bersalah, meranggaskan detik di tengah-tengah pikirannya yang carut-marut. Jarum paling bungsunya menunjukan pukul dua belas—Chan tidak bisa, bahkan sekadar mengharap cemas bahwa itu dua belas saat bulan sedang tinggi-tingginya, sebab kenyataanya relap mentari sombong sekali menembus tirai dan kisi-kisi di jendela besar kamarnya; jadi kemutlakan sudah menghantam kognisinya telak. Chan terlonjak, tubuhnya melompat impulsif sampai ia jatuh karena terjerat selimutnya sendiri; membuat kamar yang tadinya hening menjadi gaduh karena pergerakannya. Ia bingung, ini pukul dua belas siang. Bagaimana bisa ia tidur seperti orang sedang melakukan simulasi mati? Kemana Kangji? Apa bocah itu sekolah? Apa bocah itu sarapan? Chan harusnya langsung berlari ke kamar mandi tetapi ia benar-benar terjebak stagnansi saat selimutnya membelit tubuh, dan kegiatannya ini menjadi sulit sekali diselesaikan karena semua kekagetannya.

Jimin tahu-tahu sudah berjongkok di hadapannya, membuat Chan semakin sibuk membebaskan diri dari selimut yang tidak ada belas kasihannya sama sekali. Ini sialan, tetapi Chan sendiri tidak tahu mengapa jadi sulit bergerak saat Jimin membantunya melepaskan selimut itu dari paha sampai kaki; gerakannya lebih naim dan sama sekali tidak sekelesah dirinya yang seolah terkjangkit kepanikan tak berasalan. Rasa-rasanya apa yang Taehyung bicarakan soal tolol-tolol itu ada benarnya, Chan harus bisa lebih cerdas. Dan sebaiknya ia memikirkan itu setelah ke kamar mandi dan turun mencari Kangji. Di pergerakan pertamanya saat hening lebih terasa akrab, Jimin bahkan membantunya berdiri—padahal Chan bisa sendiri. Ia pastikan kakinya masih bisa berfungsi meskipun ia tidak ingat jelasnya di mana perjumpaannya dengan Taehyung terjadwal tak sengaja, dan terkaan kilometer langkahnya tak terbaca sama sekali, dan lagi pula agak-agak tidak penting juga karena ia benar-benar masih bisa gerakan kaki dengan sehat. Matanya menelaah Jimin dengan pikiran penuh, dan lelaki itu hanya menatapnya lamat-lamat dengan keamikalan yang beberapa bulan ini tidak ia dapat—jadi, apakah itu tandanya sudah ada garis-garis perdamaian di tengah distraksi rumah tangga ini? Chan mau ke kamar mandi tetapi Jimin lebih dulu menginterupsi pergerakannya.

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang