[Tujuh]

3.5K 537 102
                                    


"Tidak usah dijemput, Ma. Kangji mau main sebentar di rumah Taeho ... tidak apa-apa, kan?" Kangji menaikan alisnya polos, wajah meminta ragu, dan bibirnya merekah seperti surya baru bangun di garis-garis awan—semangat pagi di depan gerbang sekolah; bibir sehat. Rambutnya gulita, sedikit kecokelatan karena mentari membiaskan gelap itu, cabang helai-helai bocah jarang sampoan—ibunya kadang-kadang harus memaksa keramas dua hari sekali dengan conditioner. Tipikal laki-laki yang sibuk dengan urusannya sendiri, seolah tubuhnya bukan bagian dari sesuatu yang ikut sibuk dalam urusan. Seragamnya rapih, kelihatan bagus ketika dipadukan dengan rambut yang disisir terstruktur ke pinggir; bagian atas sudah kering setelah akhirnya pagi tadi keramas dengan sampo Batman, mencuat beberapa helai. Sisanya yang masih basah, melekat rapih mengikuti bentuk kepala. Ada jam tangan berwarna merah di tangannya, digital, dan bisa menyala di dalam gelap secara otomatis. Pagi ini Kangji dengan gigi ompongnya kelihatan cerah.

Chan menimbang, baju kerjanya santai seperti biasa. Atau lebih santai dari biasanya; hanya sekadar sweater tertutup kebesaran berwarna putih, dengan motif abjad ke dua puluh empat berwarna merah bata di dekat pinggang kanan, dan celana cokelat susu yang membungkus kaki kecilnya. Wajah berpikirnya terlihat kusut—dan barangkali itu yang membuat Kangji pasang ekspresi ragu—dengan rambut digelung asal-asalan, seolah kuncirannya tidak kokoh dan sedikit turun, melepas juga penjara helai di bagian telinga kiri dan kanan. Bibir Chan kering, memang tidak memakai lipstick semodel apapun; asal tahu saja, ia benar-benar sudah kehilangan banyak warna dalam hidupnya setelah semua bencana rumah tangga ini datang. Kepalanya berpikir panjang; apa ia sibuk hari ini? Kalau nanti pulang cepat dan Kangji main, ia akan kesepian di rumah. Tapi, bukankah anak berumur delapan tahun—dua puluh satu April nanti sembilan—memang hidup untuk bermain, ya? Chan tidak berhak mengekang Kangji untuk terus berada dalam orbitnya kendati ia butuh. Jadi; "Oke, tapi jangan nakal." Chan izinkan saja.

Kangji mengangguk mantap, rambutnya yang kering bergoyang—dan ia senang ibunya tersenyum lebar, barangkali wajah bahagianya menular? "Kangji mana pernah nakal? Anak baik-baik yang dididik baik-baik oleh ibunya yang cantik bagini," Kangji menggombal, kebiasaan. Cengiran bocah itu yang sedikit bolong karena ompong membuat Chan gemas dan lantas menjawil pipi kurus anaknya sekali. Ingin mengusak rambut, tapi bocah itu pasti akan mencibir; kendati susah sekali diberi jadwal keramas yang baik, tapi sebetulnya Kangji sangat memikirkan penampilan. "Mau cium Mama?" Chan akhirnya menawarkan, perasaannya terasa kacau—atau ia sebenarnya memang tidak pernah punya waktu untuk mengistirahatkan lukanya barang sebentar. Kangji adalah poros dunianya—tapi dunia tidak melulu soal bahagia. Dan bocah itu selalu mampu membuatnya merasa bersalah; maaf, Mama tidak tahu berapa lama lagi bisa mempertahankan keluarga kita, Kangji.

"Kenapa tidak? Mama adalah satu-satunya perempuan yang selalu mau Kangji cium," Kangji berjinjit lantas mencium pipi ibunya gemas, ada suara decap yang kencang seolah rasa sayangnya meledak di situ. Chan tertawa kecil, memeluk Kangji yang setinggi dagunya. Tangannya mengusap punggung kurus bocah itu, lantas melepasnya seraya bersiap pergi. "Belajar yang rajin, jangan menggombal terus," Chan pamit dengan lambaian tangan. Kangji membalas tinggi-tinggi, tapi Chan tidak bisa terus-terusan melihat itu karena tubuh kecilnya harus masuk ke mobil dan segera pergi ke butik.

Chan terkikik sendiri mengingat gombalan anaknya itu, jalanan lengang dengan beberapa mobil saja. Subway berjalan di daerah otonomnya sendiri. Sengap membuatnya berpikir, bagaimana bisa Kangji membuatnya bahagia dengan cara-cara sederhana? Chan ingin mengumpat karena nyatanya, dulu Kangji tidak suka dicium di depan gerbang sekolah—katanya itu bisa merusak reputasinya di kalangan teman-teman perempuan. Ah, anak laki-laki itu memang menyebalkan. Tapi Chan penasaran mengapa sekarang Kangji benar-benar andal membuat perasaannya membaik—kendati di beberapa aspek tidak. Chan hanya takut bahwa ia yang ketahuan menangis oleh bocah itu, menjadi acuan untuk dibuat selalu bahagia. Atau wajahnya memang selalu sekusut ini? Chan bercermin pada kaca spion tengah, dan kulit kusamnya terpampang pucat di sana. Ah, pantas saja Jimin jatuh cinta pada perempuan lain, Chan mendiskreditkan diri sendiri lagi.

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang