[delapan]

3.4K 522 50
                                    


Chan berjalan sendirian pukul sebelas. Ini waktu yang tepat untuk melamun dan berpikir sendirian. Kendati siang tadi ia sudah menangis selama berjam-jam, tapi ternyata kesedihan bekerja terlalu keras di dalam kepala, sehingga yang ia punya detik itu hanya perasaan-perasaan yang menyakitkan tanpa ada satu pun fungsi otak yang mencari jalan keluar. Sekarang Chan melangkah lamban di pedestrian, toko-toko tutup, dan ia juga yakin bahwa Urbaneff café sudah tutup—entah bagaimana kabar mobilnya. Dalihnya pada kekosongan memang ingin mengambil mobilnya yang tertinggal—tetapi sendirinya tahu bahwa ia hanya terlalu lama tertidur setelah menangis, dan ingin memanjakan mata sehatnya untuk berjalan-jalan sebentar. Omong-omong ia meninggalkan mobil Kia Picanto merahnya benar-benar karena lupa, barangkali terlalu kalut untuk sekadar mengingat kendaraan apa yang ia kenakan di semenjana kesakitannya. Angin malam selalu ramah kendati diam-diam menikam-nikam sampai ke tulang, apalagi Chan hanya kenakan kemeja Jimin yang menggantung di kursi riasnya, mengambilnya sembarangan untuk tutupi kaus hitam oblongnya yang tipis. Sedang lelaki itu belum juga kembali bahkan saat ia baru bangun tidur pada pukul sepuluh.

Tidak ada presipitasi di pipi—kandungan udara lembab yang mengkonstruk benda cair satu-satunya hanya kehidupan malam yang menciumi pohon dengan embun-embun di pagi hari. Chan tidak menangis, ia benar-benar berpikir kendati lebih banyak melamun. Beberapa orang baru pulang dari bar, dan beberapa lagi baru berangkat—ramai mengobrol di pedestrian sambil tertawa-tawa, Chan dengarkan tak sengaja. Ada bapak-bapak mabuk, barusan lewat dan terkekeh-kekeh padanya, Chan diamkan saja sambil terus berjalan. Ia membaca sedikitnya dua-tiga artikel sebelum memutuskan untuk memanjakan kesedihannya di semenjana malam begini. Bait-bait lektur digital di ponsel menceritakan banyak hal yang membuat Chan mau belajar untuk jadi pemberani. Termasuk saat memahami bahwa tidak ada bedanya laki-laki dan perempuan—sekat-sekatnya hanya ada pada seksualitas; artinya kelamin, dan beberapa bagian tubuh secara biologis. Sisanya Chan percaya bahwa laki-laki dan perempuan tidak pernah saling tumpang tindih, atau bahkan saling mendominasi satu dengan lainnya. Chan suka kemanusiaan, dan ia sadar bacaannya tentang isu-isu itu bisa membangun keberaniannya sampai kemari.

Malam terlalu tabu untuk perempuan berjalan sendirian. Tapi Chan butuh waktu ketika matahari kabur ke belahan bentala lain dan saat dengkur jadi sesuatu yang begitu nikmat didengar cicak di dinding. Chan ingin sendirian di alam bebas; dan ia berani karena merasa bahwa tidak ada kejahatan mana pun yang bisa ia jumpai kalau keberanian menjadi tameng paling kuat. Kalau-kalau misal ada penjahat kelamin yang mau memperkosanya, Chan bisa menjerit atau menendang alat vital si brengsek itu—opsi yang ia pikirkan sembari membayangkan serdak-serdak mulai jatuh dari udara bekas siang. Sedang kalau ada yang mau merampoknya, Chan tinggal berikan uang dari saku kemeja Jimin—ada beberapa won yang tertinggal dan bill supermarket; mengundangnya semakin berani karena tertera di sana Jimin membeli dua kondom berbeda rasa. Dan, kendati pun Chan akan dibunuh untuk dijual jantungnya, atau barangkali matanya dicungkil, ia akan pergi dengan lapang dada dari raga sialan itu dan terbang menjumpai hantu lainnya yang menontoni sanak-keluarga menangis—pasrah saja, kalau memang takdirnya mati malam ini, Chan memang harus apa? Ia sudah malas menjadi orang hiperbolis yang berisik—telah hilang banyak karsa berwarna di dalam dirinya.

Chan masih berjalan sampai beberapa kilo meter, entahlah sejauh apa. Ia melihat jam tangan Kangji yang barusan ia curi dari lengan lunglai bocah lelap itu dengan seksama; menyala dengan pendar biru metalik, menginformasikan bahwa sekarang pukul satu dini hari. Kakinya terasa masih sehat, dan ia akhirnya hanya terus berjalan sambil memikirkan kondom warna apa yang Jimin kenakan untuk rasa berbeda. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana training hitam bergaris putih di sisi, mencari hangat yang semakin mencekam kulit-kulit bebasnya. Wajahnya kebas, dan pipinya terasa beku—tetapi Chan masih saja berjalan, tidak menangis sama sekali. Jimin mungkin tidak pulang malam ini, Chan pikir malam yang dingin selalu menyenangkan untuk dihabiskan sambil menghangatkan diri—seks, berpelukan, beradu kulit, dan minum cokelat panas ketika lubang inti masih berdenyut-denyut perih. Dan lelaki itu barangkali sedang melakukan apa yang dulu menjadi kebiasaan, tentu dengan sang kekasih baru; Chan tidak bisa menangis kendati dadanya sakit sekali. Ia menatap kosong jalanan yang semakin sepi, dan merutuki kebodohannya yang malah terus menuai sakit di dada. Sedangkan niatnya menikmati angin malam adalah untuk berpikir—mungkin juga untuk berkatarsis ria. Tetapi bangunan Seoul malah mengejek-ejeknya karena ia bahkan lupa pada animo yang barusan ia bawa kuat sekali dari rumah.

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang