[tujuh belas]

4.3K 554 374
                                    


A/N : Siapkan mental pada adegan teriakhir.

___

Musim semi mengokupasi beranda bumi bagian ini; bagian Chan yang berjalan gelebah di pedestrian setelah turun dari halte menuju kantor Jimin. Kangji tidak menautkan jemari, anak itu independen pada bab-bab yang tidak pernah lagi Chan baca, tumbuh dewasa dan berani lebih dari pada segala malam yang pernah Chan mimpikan. Ia tidak perlu tiap dua detik menyeberangi pojok-pojok matanya untuk memastikan bahwa Kangji masih mengabadikan presensi di hasta-hasta terdekat; karena memang iya, bocah itu tetap ada, berjalan santai sambil bersiul-siul menikmati kebolosannya. Chan berantakan dalam pikiran, dahinya penuh dengan kerutan takut—dan tentu ada putih yang membungkus tanda-tanda ketololannya—tetapi di waktu simultan artifisial itu tumbuh subur pada kulit keningnya yang tanpa poni; rambutnya terjebak rapih pada belakang telinga, mencari hangat di usakkan yang paling sempit. Mereka—helai-helai rambut itu—burai sampai punggung, saling berbisik saat degup jantung Chan mengerang panik, mengabarkan pada udara sekitar bahwa ada jiwa yang tersiksa di dalam daksa yang rancak.

Chan menenteng tempat makan yang saling berlindak-lindak, masing-masing berisi menu rumahan ala kadarnya, tiga tingkat; sesuatu yang tidak pernah tertulis tetapi menjadi tradisi semua keluarga. Tangannya kebas karena terlalu erat saling mencekik, buku-buku jarinya barangkali tidak akan pernah lagi bisa menjadi sesuatu yang berwarna, karena di sana putih mengusir darah-darah dalam kulitnya sendiri. Ada sesuatu yang tidak bisa Chan jelaskan bahkan pada dirinya sendiri. Ganal-ganal, huruf-huruf yang paling mengerti cara-cara menafsirkan diri, sudah tidak bisa lagi saling bersisian rapi. Mereka memilih undakan yang carut-marut, dan memanipulasi sisa puing pikiran Chan yang tidak bisa bertahan karena terus-terusan dihantam. Chan menyesal sejak kata pertama mengajak Kangji datang pada tempat ini; muara semua ingatannya yang tidak pernah mengenal kata lupa. Chan melewati ribuan detik untuk bisa menghapus apa yang pernah terjadi di tempat tujuannya ini, tetapi mereka terlalu degil untuk pergi; dan sejauh ia berlari darinya, justru ia juga yang kembali. Kangji bukan alasannya untuk rubuh, Chan paham betul bahwa ia mestilah bisa tegak berdiri di atas kakinya sendiri tanpa perlu memikirkan bagaimana Jimin, bagaimana si Nona Selingkuhan, apakah mereka berciuman setiap hari, apakah mereka menertawai kesakitannya—Chan perlu berhenti.

"Sudah lama rasanya tidak mampir ke kantor Papa," Kangji tiba-tiba berseru girang, langkahnya mencari paralel pada dua tungkainya yang hanya berbalutkan celana jins biru dengan sobekan di lutut—celana yang Ale berikan untuk urusan gaya, padahal Chan tidak begitu mengerti apa yang estetik dari sebuah kerusakan. Chan melirik sedetik dengan senyum paling bersinar yang pernah ia punya, ingin mengelabui Kangji yang terlihat senang dengan destinasi sempit ini, kendati ingin sekali ia memohon pada anaknya itu, perihal kantor yang dituju ini adalah rumah dari luka-lukanya; adalah ibu dari kesakitannya, adalah makam atas kematian napasnya, dan ia ingin buru-buru membentang disparitas. Tapi jelas itu tolol. Chan hanya diam-diam berpikir, ingatan frekuentatif yang berlarian pada jalan di nadinya, terasa dekat dan mengunci pernapasan; apakah ia akan melihat apa yang pernah dilihatnya pada pintu yang sama ... dan bersama Kangji? Gigitan bibir yang menyengat kewarasan memanggil sakit untuk mencubit, lalu ia buru-buru letakan pikiran baik pada sela-sela gelapnya isi kepala. Semoga takdir mau diajak berkolusi.

"Paling-paling Kangji hanya akan terus bertanya pada karyawan Papa dan cueki Mama," untaian kalimat itu berangkat dengan senyum tulus yang terasa menekan semua kesakitan di dadanya; Chan hampir-hampir merasa bahwa ia sedang berjalan-jalan di atas deliriumnya sendiri, dan berharap dalam kecemasan untuk bangun pada realitas dan berada dalam pelukan Jimin seperti bagaimana ribuan hari pulang-pergi sembilan tahun ini. Setelah melihat Kangji terkekeh-kekeh gemas sambil memperhatikan papan iklan, Chan merasa jijik pada dirinya sendiri yang menyimpan pikiran tolol macam itu. Perasaannya hancur, tetapi ia tidak pernah merasa seperih ini saat membayangkan Jimin kembali pada semua yang pertama sejak mereka menikah; lambungnya demonstrasi kecil-kecilan. Ia ingin memuntahi Jimin dan menitah lelaki itu memalsukan kematiannya pada Kangji, lalu pergi pada galaksi lain dan biarkannya hanya mati karena rindu dari pada dibunuh oleh rasa nyeri yang tidak pernah punya rumah untuk pulang. Chan ingin sekali menyisipkan pecahan hati yang birai pada kerongkongannya, menanjak sampai pangkal lidah dan memberi pahit tak berkesudahan; untuk setelahnya hidup baik-baik saja dengan semua kesakitan itu. Ingin sekali Jimin yang pergi, biar alasannya berpisah bisa terbaca rasional tanpa memecahkan afektifitas; egoisnya sudah pada tahap itu, tetapi itulah inginnya.

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang