[sembilan belas]

4K 541 241
                                    


Rasa tantrum yang diam-diam menyelinap ke seluruh aliran darah, selalu harus berakhir padam paksa. Menjungkarkan segalanya pada semesta, tidak akan membuahkan apa-apa selain kebusukan dari energi baik, sisakan serpih-serpih litigasi yang gemintang terang penuhi kepala. Tidak, marah dan mengamuk bukan poin utamanya, Chan perlu membiasakan diri. Indra penciumannya menghidu raksi yang cukup ia kenal, bau mobil Taehyung; alih-alih pengharum mobil, sebenar-benarnya adalah bau lelaki itu sendiri, yang agak-agak lebih keras dari bau Jimin—barangkali karena Jimin baunya sudah tidak semaskulin dulu dan justru parfum macam campuran bunga-bunga menyatu terlalu amerta di serat-serat fabriknya—tercium seperti parfum beralkohol yang seolah-olah kekal sekali pada setiap properti di dalam mobil ini, termasuk juga persneling dan rem tangan, menyelip ke mesin AC, dan tiap embusan benda itu, hidung Chan akan menghirupnya jelas-jelas. Taehyung punya wangi yang sangat lelaki—kalau kita bicara soal konstruk sosial, tentu saja—dan membuat Chan tidak perlu berlama-lama beradaptasi, karena meski menyengat, ini cukup menenangkan. Memikirkan wewangian Taehyung dan mobilnya yang kecil dan sempit, karena ini jelas bukan mobil keluarga, membuat Chan satu persen lesapkan rasa marahnya pada Jimin yang tunak sekali. Jelas, sisanya masih sembilan puluh sembilan.

Chan sudah lelah katakan pada diri sendiri bahwa ia lelah. Dan sadar penuh bahwa kehidupan memang selalu berpotensi merabak rasa bahagianya. Tidak ada ketenangan abadi, dan Chan pikir, ia perlu membiasakan diri atas kekejaman takdir ini. Kendati pun ia merasa rasa sakitnya tak pernah berkesudahan meski telah dipersiapkan, tetapi ia harus menjadi lebih kuat lagi dengan menghadapinya penuh berani. Sebab ia tidak akan pernah tereka rapi kalau-kalau terus longsor pada luka-lukanya sendiri. Harus ada pembiasaan, harus ada tameng yang mengukuhkan. Paling tidak, Chan harus sadar bahwa Jimin sudah bukan lagi kuasanya. Lelaki itu mencintai perempuan lain yang lebih indah dan lebih cantik, fisiknya sempurna, pendidikannya bagus, dan juga, tentu, punya obrolan selaras dengan Jimin yang gila bisnis. Akan berlainan jalannya kalau Chan yang harus bersisian dengan Jimin, sebab ia tidak punya semua itu. Chan hanya perempuan kolot yang digebrak takdir, dan sekarang melangsar, beringsut-ingsut menata diri menjadi kuat dalam versinya sendiri. Statisnya tidak akan memberikan apa-apa, Chan sadar kalau ia hanya terus terpuruk, menangis dan diam-diam mengharap semua kembali seperti semula, hanya akan memperparah diri. Toh, waktu tidak akan pernah menunggu. Dan rasanya benar-benar sia-sia untuk merasa iri pada si sempurna Suljin—Chan tidak perlu berkorban banyak hanya untuk dicintai, kan? Rasanya ia hanya perlu menjadi dirinya, menjadi ibu-ibu beranak satu yang bawel dan, ya, akhir-akhir ini sedikit sangat pemarah, dan berhenti mengharapkan Jimin meliriknya lagi dengan garis tatap yang sama manis ketika lelaki itu memandang kekasih barunya. Tidak membatasi diri dengan hal-hal serupa ekspresi, Chan pikir ia hanya perlu memenjara sisa-sisa lukanya yang minta dilihat oleh Jimin, kendati dalam waktu yang sama benci melihat tatap kasihan lelaki itu. Chan ambivalen, tetapi manusia memang sering berada dalam situasi yang serakah, ingin ini tapi tidak ingin ini, sering sekali.

Chan perhatikan jalan disktriknya sejak dua menit sudah duduk manis di sisi Taehyung yang sibuk mengemudi. Seperti biasa Guro-gu lebih penuh dengan gedung daripada keramaian manusia, dan Gurodong berisi rumah-rumah mewah—meski tradisional tetapi harganya selalu fantastis, malah, di situ letak kulminasi mahalnya—dengan pagar di bawah tiga meter, tertutup, sepi. Chan tidak punya tetangga yang keakrabannya berada di lini atas, kurang dari itu, tetapi ia tahu dan sering saling sapa kalau tidak sengaja berjumpa. Itulah mengapa Kangji senang pulang sore, kadang-kadang malah saat gelap, bocah itu lebih tahu di mana tempat-tempat yang penuh dengan teman sebaya—Chan ingat pernah menemukan bocah itu di Oryudong sambil bersepeda, entah milik siapa, saat ia pulang dari butik. Pagi ini cukup hangat, Chan lihat di mobil Taehyung, berangkat di angka lima belas derajat dan agaknya akan naik terus sampai dua puluhan. Mataharinya pendek karena masih pukul delapan kurang, dan cahaya yang muntah dari korona itu masih bisa Chan pelototi kalau ia mau. Dari kaca mobil, Chan bisa lihat siklus hidup Gurodong yang sepi dan biasa-biasa saja. Ada tukang es krim pakai mobil pickup yang tidak ada pembelinya sama sekali, dan ia melewatinya begitu saja. Dulu-dulu, kalau saja pengemudi di sisinya ini adalah Jimin, ia akan meminta lelaki itu menepi dan membeli beberapa karena kasihan—dan tentu, sebenarnya juga ingin—tetapi sayang sekali yang ada di sisinya ini adalah Song Taehyung, dan suasana hati Chan juga sedang kacau. Menguatkan diri tidak pernah berhenti, tetapi di detik yang sama dia selalu ingin menangis. Kenapa dirinya sangat lemah, sih? Chan benci.

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang