[tiga belas]

4.3K 604 338
                                    


Di segala kisi-kisi dunia, selalu ada yang elusif; sukar dipahami, penuh enigma, gegap akan rahasia. Takdir punya garis-garis yang seperti itu, dan tidak seorang pun boleh melihatnya transparansi. Terlalu banyak persimpangan, atau terlalu lurus, atau segala hal yang kadang memang keterlaluan perihal arah—semuanya adalah hal-hal yang terlalu memuakkan untuk dimengerti. Dan karena semua keegoisan takdir, Chan tidak pernah berkesempatan memilih. Pilihan yang harus ia ambil, adalah semua pilihan alternatif yang ia buat sendiri. Seperti bagaimana ketika takdir suguhkan ia senampan pilihan dalam dua piring kehidupan yang mesti ia jalani; bertahan atau menyerah—adalah yang dua-duanya tidak ia ambil. Chan bukan seorang perempuan yang penuh dengan pengalaman hebat; ia bukan Emma Goldman, bukan Benazir Bhuto, bukan pula Ellen Johnson, Chan jelas bukan perempuan sehebat itu. Ia hanya manusia yang lahir dengan segala batasan yang sosialnya bentuk, dan tanpa sadar tumbuh dalam penjara yang begitu nyaman mengukung. Sehingga ia bahkan tidak punya banyak pengalaman untuk menjadi kuat—Chan tanpa sengaja terbentuk menjadi begitu rapuh. Dan diam-diam ia menyalahkan keluarganya.

Malam ini, tepatnya pukul tujuh lebih lima belas menit, dengan detik yang sudah hilang dimakan bising lain, Chan siapkan meja makan dengan serius. Masakannya berbau harum, halimun panas terbang manja sekali di atas makanan yang baru saja ia angkat dari panci. Piring-piring kembali pada kebiasaan lama sebulan lalu, sudah bersandar rapih pada meja makan dari kayu yang baunya sudah tidak lagi begitu substansi, hanya kalau-kalau Chan sedang sedih dan ia tempelkan wajah pada meja itu lantas—pasti—bau kayunya akan tercium sedikit. Piring-piring di sana polos berwarna putih, Chan tidak banyak menyukai radas dapur seperti ibu rumah tangga pada umumnya; ia bahkan tidak mengoleksi toples cantik dan sebagainya. Suara denting ketika piring terakhir Chan siapkan di bangku di mana Kangji biasa duduk, terdengar cukup nyaring—tidak sengaja karena kaget saat punggung tangannya menyentuh mangkuk besar berisi sundubu jjigae; oh untung saja tidak menyenggolnya karena itu artinya Chan perlu bekerja dua kali sebelum makan malam di mulai.

Suara denting piring itu memanggil rungu Kangji, rupanya. Karena bocah itu tahu-tahu sudah menaikan leher menjadi lebih panjang dan pasang wajah heran ketika bibirnya tersua lanting tanya. "Ma? Tidak sedang mengamuk karena Kangji main game, kan?" Chan menoleh pada Kangji yang duduk di kursi tinggi dekat lemari piring dengan wajah takut, lalu tertawa kecil. Bahu bocah itu nampak tegang dengan leher memanjang, membuatnya mau tak mau beri komentar dengan cekakak ringan. Lucu sekali. Bagaimana bisa Chan marah pada Kangji yang main game, sedang selama ini ia sering sekali menitah bocah itu untuk berhenti menatap layar gawai yang penuh dengan tulisan? Itu bagus sekali ketika Kangji bisa menemukan game yang tidak membuat bocah itu tenggelam dalam bosan, lalu mengunduh game lainnya, dan mencopot paksanya lagi, dan berputar pada pola yang sama sebelum akhirnya terputus pada pilihan di mana anak itu temukan artikel bagus di Wikipedia yang sudah terpampang di halaman depan ponselnya—yap, letakan alamat website itu di layar; sebegitunya Kangji jatuh cinta pada rasa penasaran. Tentu saja Chan tidak marah, otak Kangji perlu istirahat untuk berhenti mengeksploitasi kerjanya dan—meski—alih-alih beristirahat, Kangji ternyata main teka-teki silang; apanya yang istirahat? Ah, Chan menyesal punya mata sehat sampai ia bisa melihat dengan jelas layar ponsel bocah itu yang layu di atas paha bercelanakan piama biru bermotif garis horizontal putih. Anaknya itu ternyata lebih-lebih dari pada apa yang Chan pernah estimasi.

"Ma, serius. Tadi Mama banting piring," Kangji ungkap rasa penasarannya, ingin menggali sang ibunda yang agaknya mirip-mirip orang sembunyi dalam dinding esoteris; apa ada hal-hal yang melukai ibunya lagi? Kangji perlu bertanya untuk tahu; peta hidupnya selalu sesederhana itu. "Ya ampun, anak cerewet ini benar-benar, ya. Mama tidak banting itu dengan sengaja. Tadi tidak sengaja punggung tangan Mama menyentuh mangkuk sundubu jjigae. Panas, tahu." Kangji tersenyum lebar saat ibunya mengoceh panjang dengan nada sebal—oke, itu memang tidak cukup untuk mengetahui secara integral perasaan ibunya, tapi Kangji bisa menebak dengan pasti di pertengahan persen dari seratus, bahwa ibunya cukup baik. Indikasinya memang tidak rumit, kalau ibunya bisa majukan bibir seperti hari-hari di mana Kangji merasa mengasuh seseorang bayi berumur tiga puluh dua, maka itu artinya baik. Paling tidak, kepura-puraan yang lugas selalu disokong oleh kekuatan yang tangguh. Jadi Kangji hanya alihkan arah obrolan untuk berhenti membuat ibunya memajukan bibir sebal, dan barangkali diam-diam membuat ibunya kesal sungguhan. "Hehe," kekehannya terdengar jelas inosen, Kangji memang begini kadang-kadang; tidak tahu diri, menyebalkan, dan apa saja yang ibunya tidak pernah bilang padanya, tetapi kedua semesta di netra itu bicara jujur sekali dari garis ke garisnya. Lalu setelahnya ia bilang; "Ah, sudah lama tidak makan sundubu jjigae, Ma." Yang lantas mendapat dengusan saja dari ibunya, kekeh babak kedua terlepas dari kerongkongan.

❝ ᴸᵘᵏᵃ ᵀᵉʳˡᵃʳⁱˢ ❞ BOOK ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang