Luka || 11

7.3K 759 105
                                    

Hinata terjatuh, kakinya terkilir.

Beberapa tetua saling berbisik, satu-dua lainnya mentertawakan sikap Hyuuga sulung itu. Ceroboh juga lemah.

Hinata menahan ringisannya, bibirnya memutih pucat sebab digigit terlalu keras. Rumput tempat pijakannya bergoyang mengikuti hembusan angin.

Hiashi duduk di ujung sana, tak bergeming maupun berkomentar. Sorotnya sedingin es, dan guratan wajahnya tak dapat ditebak.

Hinata menulikan telinganya saat berkali-kali para tetua itu mengatainya secara terang-terangan.

"Gomen ... gomennasai Tou-san,"

Baru satu kalimat keluar dari bibir Hinata, Hiashi memilih berdiri, lalu berlalu pergi untuk meninggalkannya. Satu demi satu tetua-tetua mengikuti Hiashi tanpa merasa iba sedikit pun pada Hinata.

Mau bagaimana lagi?

Hinata memang selemah ini.

Tak mampu memberikan apa yang diharapkan mereka semua pada tubuh mungilnya.

Hinata tremor menahan tangis.

Tak ada suara isakan.

Hinata tidak mengeluarkan keluhan, ringisan maupun lirihan dari bibirnya yang sudah berwarna merah seperti darah. Ia tetap diam, membiarkan air mata jatuh perlahan dan berakhir membasahi punggung tangan si gadis.

Tidak apa, Hinata baik-baik saja, ini sudah biasa.

Tidak apa.

Hinata mencoba berdiri pelan-pelan, kaki sebelahnya terasa mati rasa, gadis beriris perak itu mengusap air matanya kasar.

Tiga detik setelahnya, Hinata berakhir jatuh. Rasa sakit pada pergelangan kakinya saat menghantam tanah berkali-kali lipat lebih nyeri dibandingkan sebelumnya

Mata Hinata memanas.

Sakit sekali.

Tidak-tidak Hinata tidak boleh mengeluh.

Hiashi sudah begitu merasa kecewa terhadap sosoknya, hingga rasanya tak ada lagi sebuah kasih sayang seorang Ayah yang melekat pada pria paruh baya itu.

Hinata hanya menginginkan dianggap seperti seharusnya.

Gadis itu menutup bibirnya rapat-rapat, puluhan air mata jatuh dari kedua matanya, Hinata menahan isakkannya setengah mati.

Tidak apa, ini hanya sakit seperti biasanya, Hinata baik-baik saja. Hanabi tak boleh tahu, adiknya harus tetap tidur nyenyak di dalam sana, jadi agar tak ada yang mendengar Hinata mengusap air matanya cepat tanpa mengeluarkan suara.

Dia harus tetap terlihat baik-baik saja.

Tidak apa.

Tidak apa, kan?

Hinata termangu, wajahnya mendongak menatap pemilik tangan yang memeluk punggungnya erat diluar dugaanya. Napas Hinata memberat.

Tidak apa, selama Sasuke memeluknya seperti ini, Hinata rasa ia akan selalu merasa baik-baik saja. Hinata membalikkan posisi, membalas pelukan Sasuke tak kalah eratnya, menyembunyikan wajahnya dan menumpakan semua air mata agar hatinya tidak terlalu sakit.

Sasuke mengelus punggung Hinata, di detik setelahnya mereka berpindah tempat menuju taman Konoha yang sepi, jauh dari halaman kediaman Hyuuga yang terlihat begitu memuakkan bagi si Uchiha.

"Me-Mereka bilang aku tidak pantas," Hinata memulai ceritannya tanpa harus Sasuke sendiri yang meminta. Laki-laki itu bersabar mendengarkan, mengusap puncak kepala Hinata lembut -- menenangkannya.

"Aku ... aku belum menguasai jurus seperti yang mereka mau," sambung Hinata di sela isakannya.

"Lalu aku mulai sedikit melakukan kesalahan, T-Tou-san melihatnya. A-Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sa-Saat aku meminta maaf, dia ... pergi."

Tangisan Hinata makin mengeras, Sasuke membiarkan, membuat Hinata mengeluarkan isi kepenatannya, Sasuke tetap merapatkan bibir, tidak memotong ataupun menyela cerita Hinata yang tersendat-sendat.

"Ke-Kenapa ... Kenapa aku dilahirkan dengan kondisi tubuh yang lemah, Sasuke-kun?"

Hinata menengadah, menatap iris hitam Sasuke yang memandangnya lekat, wajahnya berantakan oleh anak rambut dan air mata yang menempel di pipi.

Sasuke mengelusnya, mengusap wajah Hinata perlahan.

Laki-laki itu tersenyum teduh.

"Kau memang lemah," bisiknya sama sekali tidak berbohong, alih-alih memuji, Sasuke lebih suka mengatakan semua hal yang sejujurnya.

Karena dia memiliki caranya sendiri untuk menghibur Hinatanya.

Rambut Hinata yang halus ia selipkan di belakang telinga, kelopak mata Hinata yang membesar ia usap lagi, dalam hati meringis menyaksikan betapa menyedihkannya penampilan Hinata, saat ini.

"Tapi aku menyukainya." Kecupan singkat mendarat di kedua mata Hinata yang terpejam.

Selanjutnya Hinata menikmatinya.

Lalu jatuh pada pesona Sasuke terlalu jauh, tanpa ia sadari.

Ia merasakan getaran hangat yang memenuhi setiap sel dalam peredaran darahnya.

Jantungnya berdenyut mengerikan, mengirimkan sinyal dan sensasi menyenangkan.

"Kami-sama atau Tuhan yang berada di atas sana, memberimu sebuah kelebihan bahwa kau pantas untuk dilindungi."

"Kau tidak dilahirkan dengan kondisi tubuh yang lemah, kau hanya dilahirkan dengan kondisi tubuh yang berbeda, Hinata."

"Bagiku, kau adalah segalanya."

Yang Hinata tahu, Sasuke sudah berjarak begitu dekat dengan wajahnya, memberi kecupan hangat pada bibirnya yang sepi.

Hinata memejamkan mata, telinganya dapat dengan jelas mendengar jantungnya yang berdetak diluar irama seperti biasanya.

Pada akhirnya Hinata sudah jatuh.

Hatinya terebut, tanpa bisa dikembalikan.

Kedua tangan Hinata merangkul, ikut memeluk leher Sasuke, membalas kecupannya.

Hinata sudah sangat mencintai seorang Uchiha Sasuke begitu dalam.

Sangat dan terlalu.

Sampai Hinata lupa bahwa ia telah terlalu jauh melangkah, melupakan janjinya pada perempuan cantik yang berdiri kaku memperhatikan aktivitasnya.

Saat itu kebencian Sakura sudah tumbuh begitu besar mengalahkan logikanya. Perasaan marah dan murka bercampur menjadi satu tanpa peduli Hinata merupakan salah satu temannya.

Disini, Sakura adalah korban, kan.

Jadi Sakura juga berhak untuk mengambil haknya pada Hinata.

Hinata benar-benar egois, merebut kebahagiaan Sakura tanpa memikirkan betapa hancur dan pedihnya hati Haruno yang satu itu. Benar-benar jalang tidak tahu diri, kan?

○○○

Esok malamnya.

Hinata duduk di tempat yang sudah dijanjikan Sakura.

Ada perasaan mengganjal dalam benak Hyuuga sulung itu. Namun Hinata segera menepisnya.

Hinata juga merasa bersalah. Terlebih saat ini hati gadis itu sedang diliputi kegundahaan.

Tentang janjinya, perasaan Naruto ... juga tentang Sasuke.

Hinata menarik napas. Senyumnya mengembang saat tahu Sakura berjalan ke arahnya namun itu hanya bertahan beberapa detik, karena setelahnya senyum Hinata memudar.

Satu tamparan mendarat di pipinya hingga Hinata berakhir jatuh di tanah.

Skip, dadah.

You Are EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang