Tangisan || 15

6.7K 775 37
                                    

Hinata memegang pipinya yang berdenyut, matanya tidak berani memandang laki-laki paruh baya yang baru saja sudah memukul wajahnya. Hinata menunduk tanda kesopanannya sebagai Hyuuga.

"Hyuuga macam apa kau?"

Hiashi menyindir sinis, wajahnya yang tegas dan angkuh tidak mempedulikan kesakitan batin juga mental sang anak.

Hinata harus diajarkan lebih keras agar menjadi kuat.

Para tetua Hyuuga berkumpul, mengerubungi Hiashi yang sedang memberi pelajaran pada anak sulungnya. Matanya yang tajam menatap Hinata tanpa menggunakan sorot iba sedikit pun.

Seenaknya berlaku tidak sesuai tradisi, Hyuuga sangat menekankan kedisplinan terutama bagi kaum perempuan.

Hinata menghilang beberapa hari, lalu datang seolah tidak tahu akan kesalahannya. Tentu saja, Hiashi merasa malu.

"Kau seharusnya menjaga sikapmu, Hinata Hyuuga."

Hinata mengeratkan kepalannya gelisah, kuku-kukunya memutih pucat persis seperti wajah Hinata yang belum mendapatkan nutrisi dari karbohidrat.

"Ba-Baik Tou-san, gomennasai ...." parau Hinata bergetar.

"Yang tegas!"

Hinata menggigit bagian dalam pipinya, kedua matanya memburam. "Gomen ...."

Hiashi masih tanpa pergerakan, kedua tangannya terlipat di depan dada.

Diam-diam Hiashi merasa lelah mengajari Hinata. Sosoknya benar-benar menyerupai mendiang Hikari -- isterinya. Hiashi menarik napas memulai untuk mengeluarkan perintah.

"Ke kamarmu sekarang. Kau, ku kurung untuk dua hari ke depan."

Hinata menurut. Berusaha berdiri, dengan tubuhnya yang terasa berat, langkahnya lambat dan gemetar. Bisikan-bisikan menghina akan dirinya masih terdengar oleh telinga Hinata yang peka.

"Nee-san!"

"Tetap berdiri di tempatmu, Hanabi."

Hanabi menghentikan pergerakan tubuhnya kaku. Pelupuknya penuh oleh air mata menyaksikan Hinata yang terlihat menderita.

Hanabi tak bisa berbuat banyak, ketika sang kepala keluarga sudah mengeluarkan titahnya yang harus dituruti.

"Nee-san, kau harus kuat."

Hinata berusaha tetap tidak menangis di depan Hiashi ataupun para tetua Hyuuga, sesampainya di kamar Hinata menumpahkan isak tangis yang sudah ia tahan sedari awal menginjakkan kaki di Kediaman Hyuuga.

Hinata menarik napas susah payah, menyandar pada dinding kamar. Seluruh tubuhnya terasa panas. Hinata sadar, tubuhnya yang lemah memang mudah terserang penyakit.

Sesekali Hinata meringis kecil, saat perutnya terasa perih ataupun pipinya yang berdenyut sakit. Irisnya menelusuri isi kamar dan tak menemukan makanan apa pun di atas laci ataupun meja rias.

Iris Hinata beralih ke arah jendela yang tertutupi gorden berwarna ungu. Pikiran Hinata kembali pada Sasuke yang pernah memasuki kamarnya untuk memeluk Hinata. Datang tanpa Hinata sendiri yang meminta.

Air mata Hinata jatuh lagi. Napas Hinata memberat.

Disaat seperti ini, Hinata merindukan Sasuke berada di sisinya. Mengatakan semua akan baik-baik saja padanya, sambil mengusap pipinya yang legam.

Hinata sesegukan.

Sasuke tak akan datang, Hinata tahu. Sasuke tak akan pernah memeluknya lagi, seperti dulu.

Seandainya cinta yang dimiliki Hinata tidak serumit ini.

Tangisan Hinata mengeras, air mata masih setia keluar dari kelopak matanya yang sembab.

You Are EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang