*Keegoisan ayah*
Silaunya lampu rumah sakit memaksaku untuk memicingkan mata.
"Aku dimana kak?" tanyaku pada kak Fahmi ketika kesadaranku mulai pulih.
"Kamu di rumah sakit, tadi siang kamu pingsan di kantor."
"Oh, boleh minta tolong telfon mama nggak?"
"Boleh, mana nomornya?" tanya kak Fahmi mengeluarkan ponsel.
Aku menyebutkan dua belas angka dan kak Fahmi mencatatnya. Setelah telpon tersambung, aku berusaha menyapa dengan suara normal. Aku tidak mau mama khawatir dengan keadaanku.
"Assalamu'alaikum ma, ini Nayla." Sapaku.
"Wa'alaikumsalam, iya nak kamu pakai nomor siapa?"
"Kak Fahmi. Ma, aku mau pulang kampung." Pintaku pada mama.
"Emang kamu libur?, kenapa mendadak minta pulang kampung?" tanya mama lembut.
"Aku ada libur 3 hari ma, mulai besok sampai hari minggu."
"Tapi kenapa nak, tumben kamu minta pulang saat libur 3 hari. Biasanya juga kamu pulang hanya libur semester, itupun kalau tidak ada kegiatan kampus. Kamu sakit?" Tanya mama mulai khawatir.
"Tidak kok ma, aku hanya kangen sama mama." Bohongku.
"Ya sudah, nanti mama minta sama bapakmu untuk jemput di pelabuhan."
"Aku niatnya lewat pesawat ma, kalau kapal laut kelamaan."
"Ya udah, tiketnya gimana nak?".
"Adak kok ma, aku masih punya tabungan." Aku terpaksa berbohong lagi.
"Ya udah deh, kamu sehat-sehat ya, jaga pola makan, jangan tidur terlalu malam, salam ya sama keluargamu disana." Nasehat mama perhatian.
"Iya ma, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam" Sambungan terputus.
Air mataku mulai menetes, rasa sesak di dada sudah tidak bisa di tahan lagi. Rasanya aku ingin mati saja menyusul bunda, tapi bayangan akan kasih sayang bapak, mama serta saudaraku menghalau pikiran buruk di otakku.
Selama aku menangis, kak Fahmi hanya memandangiku dengan ekspresi muka yang sulit aku artikan entah iba atau malah jengkel dengan diriku yang cengeng. Lama aku menangis, hingga nada dering dari ponsel kak Fahmi menghentikanku. Aku belum mengmbalikan ponsel kak Fahmi setelah tadi telponan sama mama.
"Maaf kak, ini ada telpon dari kak Dirga." Aku menyerahkan ponsel milik kak Fahmi.
Dia bangkit dari sofa dan menuju ranjangku untuk menerima ponselnya. Saat mengangkat telpon, kak Fahmi hendak keluar tapi aku mencegahnya untuk tetap menemaniku di ruangan. Aku takut sendiri dalam ruangan itu, karena trauma yang pernah aku alami saat umur 10 tahun masih terbayang.
"Kak, tolong jangan tinggalin aku di ruangan ini sendiri." Pintaku.
Kak Fahmi hanya melirik dan duduk di sofa yang ada pada ruangan dimana aku di rawat. Mungkin jika ada teman kampus yang melihatku ketakutan saat berada dalam salah satu ruangan di rumah sakit akan tertawa terbahak-bahak. Karena di kampus aku di kenal sebagai mahasisaswa paling tomboi dan pemberani. Hingga teman pria pun tidak berani cari masalah denganku.
Sebenarnya aku juga takut bermasalah dengan namanya kaum pria, tapi aku tau kalau semarah apapun mereka tidak akan pernah memukul cewek. Lamunanku terhenti dengan pembahasan kak Fahmi di telpon.
"Iya, pak Anton sudah menyampaikannya tadi siang."
"(........)"
"Dia pingsan di kantor, sekarang sudah di rawat di rumah sakit. Tapi kata dokter hanya butuh istrahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Paksa
Science FictionPernakah kamu membayangkan keharmonisan keluargamu selama 21 tahun lamanya akan dirusak oleh keluarga baru yang pada kenyataannya adalah keluarga kandungmu?. Selama 21 tahun kamu hidup dengan kasih sayang penuh dari keluarga yang ternyata hanyalah k...