Bagian19

17.6K 830 13
                                    

Pemilihan seserahan yang berlangsung bak pemilihan putri Indonesia telah selesai. Aku dan kak Ardi telah sampai di rumah dengan beragai bingkisan yang kami bawa, mulai dari sandal, alat make up hingga alat sholat kami telah siapakan.

"Kak, udah ya aku mau tidur dah ngantuk nih. Belanjaannya aku simpan disini aja ya." Ucapku menyimpan bingkisan di atas meja.

"Ini udah sore loh dek, tidak boleh tidur mending bantuin kakak bungkus semua belanjaan ini. Lagian kamu kan belum sholat ashar." Ucap kak Ardi.

"Maksudku sholat lalu tidur kak, soalnya aku rada pusing dikit." Ucapku memegang pelipis.

"Kamu sakit dek? Sejak kapan seorang preman sakit?" Ledek kak Ardi.

"Sejak kak Ardi berubah jadi manja gini, lagian kak biasanya yang bungkusin seserahan itu orang tau adat kak." Ucapku judes.

"Oh gitu ya, ya udah deh." Kak Ardi langsung meninggalkanku.

Aku langsung memasuki kamar mandi untuk mengambil wuduh terlebih dahulu. Air bak serasa bagai air es hingga membuatku menggigil. Aku masuk kamar dengan posisi memeluk tubuh sendiri, spontan membuat kak Fahmi khawatir.

"Ya Allah dik, kamu kenapa? Badanmu pucat gitu." Ucap kak Fahmi khawatir.

"Tidak apa-apa kok kak, aku hanya kedinginan saat wuduh tadi." Ucapku pelan dan langsung mengenakan mukenah untuk melaksanakan kewajiban.

Setelah melaksanakan sholat, aku mendapati kak Fahmi sudah siap dengan the hangatnya.

"Itu untuk siapa kak?" Tanyaku heran.

"Untuk kamu dik."

"Emang tidak ada mama ya di dapur?" Tanyaku lagi.

"Ada, bahkan ada bapak." Jawab kak Fahmi santai.

"Lalu kak Fahmi tidak diberi tau sama mama?"

"Diberi tau, tapi aku bikin aja. Lagian ini bagus untuk kamu dik supaya badan kamu anget." Jawab kak Fahmi lagi.

Ya, sejak kecil aku paling gak suka sama yang namanya the. Mau teh anget, teh panas hingga es teh aku tidak suka.

"Tapi aku tidak suka teh kak." Ucapku menahan gelas yang disodorkan kak Fahmi.

"Kamu harus coba dik, atau aku beliin obat di apotik aja? Kamu milih mana, minum teh ini atau aku beliin obat?" Tanya kak Fahmi.

"Aku tidak milih dua-duanya." Ucapku baring dan menutup tubuh dengan selimut tebal.

Tiba-tiba pintu kamar di ketuk dari luar. Kak Fahmi meletakan gelas yang tidak sama sekali aku sentuh lalu bergegas membukakan pintu. Ternyata yang datang adalah mama, bapak dan kak Ardi. Terlihat mama memegang gelas yang biasa digunakan oleh bapak untuk meminum minuman tradisional yang rasanya ngalahin daun papaya.

Kami pernah sekali minum minuman itu. Saat itu aku masih berumur 14 tahun, kami meminumnya karena paksaan keadaan. Ya, saat itu adalah musim demam dan pilek bagi masyarakat hingga kami dipaksa minum jamu tradisional yang di racik sendiri oleh mama.

Tanpa arahan dan perintah dari kak Fahmi, aku langsung meraih the hangat yang disimpan oleh kak Fahmi sampai tandas. Aku melihat semua memandangku heran, sementara aku cuek saja.

"Sejak kapan kamu suka minum the dek?" Tanya kak Ardi heran.

"Sejak ramuan itu ada di kamarku." Aku menunjuk gelas yang di pegang oleh mama.

Spontan mama, bapak dan kak Ardi tertawa kecuali kak Fahmi yang bingung dengan sikap kami.

"Nayla..Nayla.. Sejak kapan sari kacang hijau berubah nama jadi ramuan hmm?" Ledek kak Ardi.

Pernikahan PaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang