Bagian 8

15.9K 775 9
                                    

POV Fahmi

*Pengorbanan*

Hari-hari aku lalui dengan penuh kesabaran, bunda yang selama ini terlihat tegar dan kuat harus terbaring lemah pada kasur persakitan.

"Fahmi sini nak sama bunda" Ajak bunda dengan muka serius. Aku bangkit dari sofa dan menuju ranjang bunda.

"Fahmi, bunda mohon sama kamu jangan pernah tinggalin bunda sama ayah ya" Ucap bunda serius.

"Iya bunda, Fahmi nggak akan pernah tinggalin bunda sama ayah" Ucapku memegang tangan bunda.

"Terima kasih sayang. Sebenarnya ada yang bunda mau omongin, tapi bunda mohon kamu jangan marah ya" Bunda membelai rambutku dengan lembut.

"Iya bunda, bunda ngomong aja. Fahmi nggak bakalan pernah marah sama bunda ataupun ayah" Ucapku meyakinkan bunda.

"Sebenarnya ayah sama bunda bukan orang tua kandungmu nak. Orang tua kandungmu meninggalkanmu ketika kecelakaan itu" Ucap bunda menerawang.

"Bunda jangan bercanda ah" Aku belum percaya.

"Iya sayang, bunda tidak bercanda. Dulu waktu kami dari rumah bu Sri mengambil Nayla, ayah tidak sengaja menabrak sepeda motor dan itu adalah kalian. Ayah terlalu senang dengan kembalinya Nayla hingga tidak fokus menyetir, ibu dan bapakmu menitipkan kamu untuk kami rawat sebelum mereka pergi meninggalkanmu. Kami langsung membawamu ke rumah sakit karena kamu tidak sadarkan diri. Setelah kamu siuman, dokter menyatakan bahwa kamu buta sejak lahir hingga kami memutuskan untuk mengaku sebagai orang tua kandungmu agar kamu tidak terlalu sungkan pada kami." Bunda meneteskan air mata.

"Iya bunda Fahmi memang buta sejak lahir. Lalu kenapa Fahmi bisa melihat bunda?" Tanyaku dengan dada sesak menahan tangis.

"Bunda berinisiatif untuk melakukan operasi terhadap matamu tanpa sepengatahuan ayah. Saat itu ayah masih di penjara untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya hingga dia tidak tau bahwa kamu buta. Bunda membawamu menemui ayah setelah kamu benar-benar pulih."

Bunda terus saja menangis saat mengungkapkan kebenaran tentang diriku.

"Bunda minta maaf sayang, bunda mohon kamu jangan marah sama bunda juga ayah. Walaupun kamu hanya anak angkat, tapi kami telah menganggapmu sebagai anak kandung kami seperti Dirga dan..hiks..hisk"

Bunda tidak sanggup menyebut nama Nayla, mungkin rasa rindu padanya sudah terlalu besar. Aku langsung memeluk bunda, walau bagaimanapun bunda sudah aku anggap sebagai orang tua sendiri.

"Sudah bunda, bunda jangan nangis. Fahmi tidak marah kok, malah Fahmi mau bilang terima kasih sama bunda. Bunda sudah membesarkan Fahmi dengan penuh kasih sayang. Fahmi sayang bunda, Fahmi nggak akan ninggalin bunda"

Aku menenangkan bunda, aku khawatir jika bunda banyak pikiran akan berpengaruh pada kondisi kesehatannya.

"Bunda, Fahmi keluar dulu ya. Fahmi mau beli makan bunda mau makan apa?" Tanyaku pada bunda.

"Nggak usah sayang, bunda udah makan."

"Ya udah Fahmi keluar dulu ya, Assalamu'alaikum." Aku mencium punggung tangan bunda lalu keluar menuju mushola rumah sakit.

Mencari makan hanya alibiku pada bunda, aku hanya ingin mengadu pada Tuhanku. Rasanya, mengadu padaNYA lebih bisa menenangkan pikiranku daripada suapan makanan. Selama dua puluh menit lamanya aku bersimpuh pada tuhan, aku memutuskan untuk kembali ke ruangan bunda.

Saat memasuki ruang rawat bunda, aku mendapati ayah dan bunda sedang bicara serius. Aku duduk di sofa yang ada pada ruangan itu, tanpa ikut nimbrung obrolan mereka tentang perjodohan anak yang belum ditemukan hingga bunda memanggil namaku.

Pernikahan PaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang