Dua Ayah (1)

1.2K 68 9
                                    

Balikpapan 1997.

Buk!!!

Satu tinjuan kulayangkan ke hidung  Acho. Si mulut besar itu terhuyung dan mundur beberapa langkah. Darah mengucur dari lubang hidungnya. Ia menatapku penuh amarah.

Aku sudah tak tahu seperti apa rupaku, tadi ia menyerang wajah ini dengan beberapa kali tinjuan. Perih di pelipis, pipi, dan bibir yang kini berhias cairan merah. Kali ini, bocah tengil itu harus dilawan.

"Hantam lagi, Man!"

Beberapa pendukungku bersorak penuh semangat.

"Balas, Cho! Jangan jadi pengencet!"

Teriak para pendukung Acho penuh rasa kesal.

"Masih mau?"Aku menantangnya.

Acho membuang ludah ke samping. Anak yang lebih tua dua tahun dariku itu menyeringai. Dia dikenal jagoan di tempat tinggal kami. Selama ini anak-anak takut dengannya, selain suka berkelahi ayahnya adalah seorang preman pasar yang sudah dua kali masuk bui. Semua takut padanya dan berusaha menghindari konflik dengan si Acho.

Kali ini aku sudah tidak bisa menahan  amarah yang telah lama terpendam. Dia
terlalu sering menghina ayah dan nenekku. Tak peduli nanti akan berhadapan dengan ayahnya. Sesekali dia harus diberi pelajaran.

"Heh, Usman anak si Dudul gonggong, idiot! Ayo maju!!!"

Acho dan komplotannya tertawa mengejek dan membuat emosiku memuncak dua kali lipat dari sebelumnya. Aku berlari ke arah Acho dan menyerudukan kepalaku ke dadanya seperti banteng. Ia tumbang, berdebam di atas tanah yang kecoklatan. Seketika serpihan bagai debu bertaburan ke udara.

Aku langsung duduk di atas tubuhnya dan meninju wajah Acho tanpa jeda. Ia mengerang, beberapa kali ingin membalas tapi, gagal. Sementara sorakan para pendukungku semakin membahana. Umpatan dari para pendukung Acho yang ditujukan padaku semakin membuat ramai suasana lapangan bermain kami.

Beratap langit jingga tanpa ampun aku menghajar Acho hingga babak belur. Ia terlihat kepayahan. Mungkin ia baru tahu jika aku memiliki tenaga super untuk membuatnya KO.

Andai nenek dan pak RT tidak datang dan menarik tubuh kurusku, mungkin Acho bisa mati.

Beberapa pria dewasa yang merupakan tetangga kami berdatangan dan mengangkat tubuh Acho yang lemas. Darah menghiasi bibir dan hidungnya. Warna kebiruan begitu banyak terukir di wajah bocah itu. Satu per satu anak-anak yang tadi ribut menyoraki perkelahianku dan Acho, pergi meninggalkan lapangan.

Nenek menyeretku pulang. Tangannya gemetar, mungkin karena melihat kondisi Acho dan wajahku yang penuh lebam ditambah nanti akan berhadapan dengan ayah Acho.

Dalam perjalanan pulang tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut nenek. Aku pun hanya diam dan terus melangkah bersamanya.

Sesampainya di rumah berdinding triplek usang dan sebagian papan tanpa cat yang mulai rapuh, nenek mengompres wajahku dengan kain yang telah direndam air hangat. Sesekali aku meringis menahan sakit. Setelah itu, nenek menyuruhku mandi dan bergegas pergi ke surau.

"Nanti selesai shalat, bicara dengan Nenek!" kata wanita yang rambut depannya mulai memutih.

Aku hanya mengangguk sembari meraih handuk yang tergantung di dinding dekat kamar mandi lalu masuk ke ruangan sempit berdinding seng tua.

*****
Selesai mandi dan mengenakan baju koko serta celana panjang hitam, dengan wajah lebam aku berangkat ke surau yang berjarak empat rumah dari kediamanku.

Imam sudah membaca surah Al Qori'ah pada rakaat pertama. Bergegas masuk dan mengambil tempat di samping kawan karibku si Paloi yang sempat menoleh ke arahku.

Dua AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang