Dua Ayah (7)

356 48 6
                                    

"Ayah!!!" Aku berlari kepelukan lelaki yang begitu kurindukan.

"Usmanku," ujarnya sambil tertawa bahagia. Ia mencium pucuk kepalaku. Kami berpelukan, melepas kerinduan.

"Aku mau ayah aja," ucapku lirih.

"Ya, tenang aja. Tidak ada yang bisa membawamu pergi dariku!" katanya dengan intonasi cukup tegas.
Aku tersenyum dan masih memeluknya.

"Ayo naik!" Ia berjongkok dan menyuruhku naik di pundaknya.
Aku mengikuti keinginan beliau.

Seperti biasa, ayah membawaku mengelilingi halaman rumah sambil menirukan suara pesawat yang sedang terbang. Memegangi kedua lenganku dengan erat.

"Aku akan membawamu bersembunyi di balik awan. Biar mereka tidak membawamu lagi."

Aku tersenyum mendengar ucapannya.

Langit mulai gelap, jingga sang mentari sedikit terhalang kabut asap.

"Ayo masuk, mau magrib!" Nenek memanggil kami. Wanita bermata teduh itu berdiri di ambang pintu.

Ayah menurunkanku dari pundaknya. Kemudian kami berjalan menuju rumah.

"Nenek!" Aku memeluk wanita yang telah kuanggap seperti ibu itu dengan erat. Ia membelai rambutku.

Setelah puas memeluknya, aku ingin masuk ke dalam rumah, tapi mendadak nenek mendorongku dan menutup pintu dengan kasar.
Aku berteriak sambil menangis.

Sementara ayah yang tadi berada di sampingku menghilang. Ke mana dia?

Pintu itu kugedor dengan keras. Tak ada sahutan, padahal aku berteriak memanggil sangat keras memanggil mereka.

Tubuhku luruh ke lantai papan yang usang dan menangis pilu.

"Ayah!!! Nenek!!!"

Aku menjerit.

Kini, kurasakan seseorang sedang memegang pergelangan tanganku.

"Usman ...."

Seseorang menyebut namaku dengan lembut. Nenek kah, itu? Perlahan kubuka kedua mata. Sedikit kabur, tapi pelan-pelan pandangan mulai jelas. Aku memicingkan mata, karena sinar lampu di langit-langit sangat menyilaukan.

"Alhamdulillah, kamu sadar, Nak." Suara itu terdengar lagi.

Kepala dan badanku terasa sakit. Aku meringis. Tangan kiriku ada sesuatu yang menempel semacam selang kecil. Hidung dan mulut tertutup oleh alat seperti masker.

Wanita di hadapanku bukan nenek, tapi bu Risna. Tadi aku berada di halaman rumah bersama ayah. Kenapa sekarang ada di ruangan yang serba putih ini?

"Jangan banyak gerak, kepala dan kakimu cidera cukup parah," ujar bu Risna.

Aku ingin melepas alat yang menutupi hidung dan mulutku. Namun, tidak bisa. Tangan terasa berat.

"Kamu habis kecelakaan dan kritis.  Sudah tiga hari tidur saja. Alhamdulillah, kamu sekarang sudah sadar ." Wanita berjilbab coklat itu mengusap air mata dengan telapak tangannya. Ia terlihat begitu bahagia.

"Aku mau bertemu ayah," ucapku dalam hati.

Bu Risna lalu pergi ke luar ruangan. Aku mengedarkan pandangan sejauh jangkauan mata. Kulihat ada banyak alat. Tidak tahu alat apa saja dan untuk apa fungsinya. Terdengar suara dari mesin yang terletak di samping pembaringan.

Dulu aku pernah lihat di televisi saat menonton sebuah film di rumah Paloi, alat itu  berbunyi dan di dalam layarnya bergambar garis-garis bergelombang.

Dua AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang