Dua Ayah (19)

347 45 2
                                    

Aku bernapas lega saat melihat Nayla membuka mata. Ia memegangi kepalanya dan perlahan duduk. Bisa kulihat mendung menghiasi wajahnya. Rasanya posisiku jadi terasa serba salah.

"Nay ...." panggilku, pelan. Nayla menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Ia menatapku dengan mata sendu.

"Perlu ke dokter, Nay?" tawarku. Ia menggeleng pelan.

"Hmmm, gue mau ke hotel aja," ujar Nayla.

"Gue anter, ya."

"Gak usah," tolak Nayla.

"Elo habis pingsan, Nay. Gak mungkin gue biarin elo pergi sendirian!"

"Gak usah sok perhatian. Entar ada yang  cemburu," ujar Nayla, nada bicaranya seperti menyindir. Ia berusaha berdiri.

"Kita cuma sahabat, Melda gak akan cemburu."

Nayla tersenyum tipis. Lalu menatap tajam ke arahku.

"Mulai sekarang, gue harus tau diri."

"Nay ...."

"Papa elo udah tau ini?"

"Udah, gue pikir Papa cerita ke elo."

"Om Rayhan gak cerita apa-apa," ujar Nayla. Ia berdiri dan mulai melangkah. Mengambil tasnya di nakas.

"Gue ke sini, bukan karna elo kok. Tapi karna ada proyek di sini. Ternyata omongan gue dikabulin sama Tuhan. Dulu  gue berharap dapat proyek di sini. Eh, beneran dapet. Terus, pernah bilang kalo gue takut elo jatuh cinta sama cewek sini, dan ternyata ...."

Nayla menghela napas. Mengusap sudut matanya yang berair.

"Gue, norak ya. Pake pingsan gegara patah hati."

Kata-kata Nayla membuatku menjadi iba padanya, tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa karena Melda adalah pilihanku.

"Selamat ya, akhirnya bisa nemuin perempuan yang bisa bikin jantung elo berdebar," kata Nayla dengan suara lirih.

Melda datang dengan secangkir teh hangat. Ia menyapa Nayla dan meminta untuk meminum teh buatannya dulu sebelum pergi.

"Makasih, gak usah," tolak Nayla.

"Eh, ini Kalimantan. Kata orang sini, nanti bisa kepohonan," ujar Melda. Nayla mengerinyitkan kening, mungkin bingung dengan istilah kepohonan.

"Kamu percaya gituan, Mel?" tanyaku. Melda hanya diam.

Kepohonan hanyalah mitos bagiku. Sudah jadi hal umum di Kalimantan, jika ada sesuatu yang sudah disajikan harus dicicipi dahulu walau hanya sedikit. Kalau tidak menurut kepercayaan orang-orang lama, tamu yang menolak mencicipi hidangan akan terkena sial atau celaka. Entah ajaran dari mana. Namun, menurutku akan lebih sopan jika mencicipi hidangan dari tuan rumah sebagai bentuk penghormatan.

Nayla akhirnya duduk lagi dan meminum teh dari Melda beberapa tegukan.

Aku masih duduk terdiam memperhatikan dua wanita di depanku.

"Gue anter elo!" Nada suaraku penuh paksaan. Kuraih kunci mobil di meja kerja. Berjalan ke luar dari ruangan ini. Sampai di ruang depan, aku mengangkat kedua koper Nayla memasukkannya ke bagasi. 

Aku menoleh ke arah pintu toko. Nayla melambaikan tangan pada Melda. Lalu menghampiriku.

"Dasar pemaksa!"

"Terserah lo bilang apa," sahutku, cuek.

Nayla akhirnya masuk ke mobil. Aku tersenyum pada Melda, lalu masuk ke mobil dan duduk di balik kemudi.

Dua AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang