Dua Ayah (22)

430 46 8
                                    

Alam seakan ikut berduka. Langit pagi ini terlihat kelam ditemani gerimis yang turun perlahan, menemani langkah-langkah kami mengantarkan ayah ke peristirahatan terakhirnya. Aku turut mengurus proses pemakamannya.

.

Satu persatu para pelayat pergi meninggalkanku. Tinggal aku ditemani Paloi di samping pusara ayah. Air mata terus mengalir dari kedua netra yang tampak bengkak.

Perlahan gerimis berubah menjadi rinai hujan. Paloi mengajakku pulang, tetapi aku menolaknya.

"Ayolah, Man. Pulang ...."

"Kamu pulang aja duluan, aku masih mau di sini," sahutku dengan air mata yang masih berurai.

Bukannya pergi, Paloi justru ikut berjongkok di sampingku. Menemani dengan setia. Membiarkan tubuh kami terguyur hujan.

Gundukan tanah yang bertabur bunga di hadapan kami, kini menjadi basah. Kupegangi pusara ayah dengan bahu berguncang.

Baru saja aku bertemu dengan ayah setelah dua puluh tahun terpisah. Kini, harus kurelakan berpisah dengannya untuk selamanya.

"Sabar, Ces," ucap Paloi dengan suara lirih sembari menepuk bahuku beberapa kali.

Siluet kenangan bersama ayah kembali hadir dalam ingatan dan membuat isakanku semakin menjadi seiring hujan yang bagai tertumpah dari langit.

*

Sampai di depan rumah, kulihat papa berdiri di teras. Ia memeluk tubuhku yang kuyup. Aku menangis tanpa suara dalam dekapannya.

*****
Duka masih menyelimutiku. Meskipun sudah hampir sebulan ayah pergi, tetap saja aku belum lepas dari rasa sedih.

Tiga kali aku dan papa harus hadir di persidangan, akhirnya Acho dan Jamal mendapatkan hukuman atas perbuatan mereka.

Acho dihukum atas kasus penculikan, percobaan pemerkosaan, dan percobaan pembunuhan. Vonis hukuman yang ia terima selama 14 tahun penjara.
Seharusnya bisa lebih berat lagi, sayangnya Nayla tidak ada kabar sehingga tidak bisa bersaksi.

Sedangkan Jamal, sebagai otak penculikan Nayla dan papa. Serta laporan dari adiknya tentang bisnis narkoba yang dilakukkan sang kakak menjerat pria angkuh itu dengan vonis hukuman selama 25 tahun penjara.

Aku bersyukur, semua masalah bisa selesai. Sedikit bisa bernapas lega.

"Usman ...." Melda memanggilku saat ke luar dari ruang sidang.

Paloi dan papa memberikan waktu padaku untuk berbicara dengan Melda. Mereka pergi duluan menuju tempat parkir.

"Ada apa?" tanyaku dengan suara datar.

"Maafkan aku," ujar Melda dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Sudah kumaafkan," sahutku.

"Man ... aku ...."

"Setelah ini, berjanjilah jika suatu saat kita bertemu, jangan menyapa atau sekedar melihat. Anggap kita tak pernah kenal!"

Kedua mata Melda membulat, bibirnya sedikit terbuka.

"Apa kamu mengerti, Mel?" Aku menyorot tajam ke mata Melda.

Melda hanya diam. Lalu, perlahan menunduk. Mungkin menghindari tatapanku.

"Aku yang salah, Mel. Karna mencintaimu," ucapku." Aku harap, kamu bisa bahagia dengan kehidupanmu. Berjalanlah di jalan yang kita pilih."
Aku segera melangkah, pergi meninggalkan wanita yang pernah membuatku mabuk kepayang. Terus berjalan, tanpa menoleh sedikit pun.

*****
Paloi kuminta untuk bekerja di toko Abdullah Souvenir. Menjadi penanggung jawab untuk usahaku ini.

"Kamu nanti tetap ke sini kan, Man?" tanya Paloi.

Dua AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang