Dua Ayah (14)

377 42 1
                                    

Dua Ayah (14)
Saat suasana mulai menegang, di mana aku dan dua preman itu hampir saja memulai perkelahian. Suara seseorang membuat dua orang begajulan itu urung menyerang.

"Berhenti, jangan berkelahi di sini!" Pria berbadan tegap dan berwajah khas Dayak mendekati kami. Penampilannya cukup necis.

"Bos," sebut si pria berkumis dan berbadan besar. Lalu keduanya memberi jalan. Pria bermata sipit itu, menatapku tajam.

"Maafkan kelakuan mereka," ujarnya, santai.

"Tapi, Bos. Dia ini orang yang semalam ...." Pria berbadan kurus itu mencoba menerangkan kepada pria yang dipanggilnya bos itu. Namun, kalimatnya terhenti saat lelaki tersebut memberi kode dengan gerakan satu tangannya ke udara. Seketika si kurus terdiam.

"Mereka memang kasar, karna kubayar memang untuk berlaku seperti itu. Tapi ... sebaiknya jangan ribut di sini. Mengingat tempat ini tak jauh dari kantor polisi. Bukan begitu?" Pria itu sedikit tersenyum. Gayanya seperti bos mafia di film-film. Tenang dan dingin.
Ya, tidak hauh dari perkampungan ini di seberang jalan ada kantor polisi.

Aku menyeringai. Rada muak melihat gayanya.

"Ya, kasar. Termasuk melakukkan kekerasan pada gadis itu semalam?!" Aku geram. Paloi memegangi bahuku.

"Sudah Man, jangan ribut sama orang ini!" ujar Paloi.

"Ya, kesalahan mereka memukul Melda. Hhh ... mereka memang bandel." Pria itu mendengus." Tapi ... tenang saja, aku sudah membalasnya. Anak buahku memang kadang kelewatan," ujarnya dengan senyum tenang.

Kakaknya Acho datang dan menyambut pria di hadapanku ini. Wanita itu terlihat sangat ramah dan sempat melotot padaku. Paloi mengajak kembali ke rumahnya.

"Meldaaa!!!" teriak wanita kasar itu dengan keras. Gadis itu pun muncul dengan dress selutut berwrna biru. Wajahnya yang lebam tepoles make up. Ia berjalan dengan kepala menunduk dan langkah tertatih.

"Jangan melawan lagi," kata pria itu saat Melda sudah di depannya.

Gadis itu mengangkat wajahnya. Lalu menatap tajam kepada lelaki itu.

"Aku akan melawan, jika kamu ingin menjualku!"

Pria itu tersenyum dan hendak menyentuh dagu Melda yang dengan cepat ditepis oleh gadis itu. Ibunya mengumpat. Namun, lelaki tersebut memberi kode dengan tangannya agar sang ibu diam. Bagai disihir, peremuan tersebut diam.

"Ayo Man, ini bukan urusan kita!" bisik Paloi. Ia menarik tanganku.

Sesaat Melda menoleh ke arahku. Kami saling pandang dan kemudian ia menunduk dalam. Aku pergi, kembali ke rumah Paloi.

Dari dalam rumah, aku masih mengamati mereka melalui balik jendela. Pria dingin itu tampak terus berbicara, mungkin membujuk Melda.

Tak lama Melda melangkah bersama lelaki berjas hitam itu.

Dari sini, lelaki berbadan tinggi itu tampak hendak ingin menggandeng tangan Melda, tapi gadis tersebut terlihat menolaknya.

"Sudah Ces, gak usah kamu liatin terus!" Suara Paloi menyentakku.

Aku duduk di depannya. Ia mengingatkan agar tidak terlibat dengan keluarga Acho.

"Acho itu musuhmu, jangan memang kamu berurusan dengan dia dan keluarganya!" tegas Paloi.

"Aku gak merasa jadi musuhnya Acho. Dia yang selalu anggap aku adalah musuh!" sergahku.

"Iya, tau ... tapi tetap aja, Acho anggap kamu mushnya!"

Kami terdiam beberapa saat. Lalu, Paloi menanyakan soal dua preman tadi, kenapa bisa tahu mereka. Aku menceritakan kejadian semalam.

"Pantasan, ada luka di mukamu. Kusangka kenapa, bekelai sekalinya," ujar Paloi," jagoan memang kamu, Man!" Paloi terkekeh.

Dua AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang