Aku berlari mengejar motor yang sudah melesat jauh. Tadi aku sempat melihat di helm pria yang membonceng ayah bergambar tengkorak sedang menggigit rokok. Kemudian secepat kilat menghampiri pangkalan ojek dan dengan buru-buru meminta si tukang ojek mengejar motor yang membawa ayah.
Tak kupedulikan mata orang-orang sekitar yang menatap heran padaku. Tukang ojek terus berusaha membawa motor tuanya secepat mungkin. Entah bodoh atau apalah ini namanya, sudah tahu mustahil menjangkau ayah. Namun, semangat ini mengalahkan logika.
Kedua netraku mulai berembun. Harapan itu seolah sirna, setelah sadar bahwa sosok itu telah hilang di antara laju kendaraan. Tukang ojek menanyaiku hendak turun di mana. Aku diam dan membiarkan pria ini terus menyusuri jalan berhias mentari yang semakin menghangat.
****
Malam ini, aku melukis kembali wajah ayah di laptop. Mataku basah. Rindu yang begitu hebat terpendam di hati ini.Besok aku akan kepercetakan dan membuat pamflet untuk mencari ayah.
Aku mengusap sudut mata yang digenangi air mata. Lalu sebuah ketukan pintu mengejutkanku.
Saat pintu terbuka, untuk beberapa detik mataku terpana.
"Hai!" sapa Melda.
"Gak biasa salam, ya?" sindirku. Ia mendengus lalu mengucapkan salam. Aku menjawabnya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Ini, ganti uangmu!" Ia menyodorkan amplop putih.
Aku bergeming dengan tangan bersedekap. Gadis bermata indah itu memaksaku agar segera mengambil amplop di tangannya.
"Aku gak tau berapa, karna kamu gak mau sebutin jumlahnya. Jadi, aku kira-kira aja," ujar Melda sembari menatapku.
'Hei, kenapa jantungku jadi terasa berdetak lebih cepat dari biasanya?'
Aku berujar dalam hati."Simpan aja, kayaknya kamu lebih butuh," ujarku.
"Aku masih punya cukup uang. Jadi ...."
"Aku ikhlas bantu kamu," sergahku.
"Tapi ...."
Ia terdiam sambil menggigit bibirnya saat mata kami saling bertemu.
Gadis itu menarik tangannya. Menyimpan kembali amplop tersebut ke dalam tas. Ia mengucapkan terima kasih.
"Bagaimana cara aku membalas kebaikanmu?"
"Gak usah," sahutku, datar," silakan pulang, jangan kelamaan di sini. Takut ada yang cemburu."
'Astaga apa yang sudah kukatakan?' Aku merutuk dalam hati.
Mata gadis ini benar-benar menghipnotisku. Ah, sial!
Aku mencoba menghindari kontak mata dengannya. Setan mulai menggoda pikiran ini.
"Siapa yang cemburu?" tanya Melda, jutek.
"Lha, itu cowok yang kemaren jemputin kamu."
"Ish, Jamal? Amit-amit," ujarnya dengan wajah kesal.
"Udah ya, aku mau istirahat."
"Boleh tau nama kamu?"
"Gak penting," jawabku.
Ia mendelik lalu menghempaskan napasnya. Wajahnya kesal.
"Tau 'kan jalan pulang?"
Matanya bergerak, bibirnya mengerucut. Lalu pergi dari hadapanku dengan kaki yang dihentak- hentakan.
Aku segera menutup pintu. Bergegas ke jendela. Mengintip dari balik kaca. Tak lama, sosok itu muncul. Ada ojek online yang sudah menunggunya. Sebelum ia naik ke motor, kepalanya mendongak seakan sadar jika ada yang sedang menatap dari ke jauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Ayah
General FictionSejak kecil, ia hidup dengan lelaki ber- IQ jongkok. Menjalani kehidupan sebagai pengamen. Lalu, ketika ikatan batin antara ia dan ayah "idiot-nya" semakin kuat, takdir memisahkan mereka. Ia harus tinggal pada ayah yang lainnya. Bertahun-tahun ia la...