Dua Ayah (21)

398 48 1
                                    

Matanya menatapku dengan lekat, ia mengerang tak berdaya.

"Acho, aku tidak memintamu membunuh!" Suara Jamal terdengar berang.

"Aku khilaf," sahut Acho dengan seringai tanpa rasa bersalah.

Segera kucabut pisau itu dari punggung ayah. Darah segar menghiasi kaos yang dikenakannya dan juga tanganku.

Paloi datang dengan wajah pias, sigap menghajar wajah Acho dengan keras. Pria itu tersandar di pintu mobilku.

Melda menangis sambil berteriak-teriak kepada Acho.

"Melda, masuk!" perintah Jamal.
Lalu menyuruh semua anak buahnya pergi.

"Aku bersumpah akan membuatmu dan Jamal membusuk di penjara!" ancamku. Acho hanya diam. Tak ada ketakutan yang terlukis di wajahnya. Sungguh hati pria itu sepertinya terbuat dari batu.

Aku langsung membawa ayah ke mobil bersama Paloi.
Secepat mungkin menyetir menuju rumah sakit.

"Maaf, Man. Tadi ayahmu ke rumahku. Cari kamu. Katanya dia cemas, bahkan sampe nangis-nangis," jelas Paloi yang duduk di jok belakang sembari memangku kepala ayah.

Aku bergeming, terus mengemudi seperti orang kesurupan.

****
Ayah belum siuman,  dokter sudah memberikan pertolongan terbaik untuknya. Ia terlelap, wajahnya yang polos membuatku semakin merasa bersalah.

Aku melangkah ke luar. Langkahku lemah, lebih lambat dari seekor siput. Rasanya air mataku sudah terlalu banyak tumpah, membuat kedua netra ini terasa berat. Kini, kedua ayahku terbaring tak berdaya.

Jatuh cinta, menyeretku pada lubang kehancuran. Membuat orang-orang terdekat merasakan derita.

"Man ...." Paloi menghampiriku.

"Aku penyebab semua ini," lirihku. Sesak sekali rasanya dada ini.

"Jangan gitu, Man ...."

"Kamu pernah ingatkan aku agar gak jatuh cinta sama Melda. Tapi ...." Aku menggigit bibir bawahku. Sungguh tak sanggup lagi kulanjutkan ucapanku.

"Sudah, Man. Nasi sudah jadi bubur," ujar Paloi. " Tapi ... bubur pun masih bisa diolah, Man. Tetap enak untuk dimakan. Itu 'kan dulu kamu pernah bilang ke aku. Waktu kita kecil," ujar Paloi.

"Kata-kata konyol," ucapku.

"Gak Man, buatku itu sangat berarti. Bahwa meski hancur. Disela kehancuran itu tetap ada hikmah dan kebaikan yang masih bisa kita nikmati."

Aku menatap Paloi sesaat, menghela napas dengan dalam dan mengembuskannya perlahan. Namun, masih terasa sesak dada ini.

"Aku akan membuat Acho dan Jamal dihukum!"

"Tapi Jamal itu ...."

"Aku akan berjuang untuk itu. Agar mereka mendapatkan ganjarannya. Aku tak peduli lagi soal Melda. Aku hanya ingin menyeret dua begajulan itu ke penjara!"

Paloi memegang bahuku. Memberikan dukungan atas ucapanku.

Sehebat apapun seorang Jamal, pasti ada cara yang bisa kutempuh untuk mengadili dua lelaki berhati batu itu di hadapan hukum.

*****
Aku membuat laporan di kantor polisi. Sangat berharap semoga pihak berwajib bisa menangkap mereka.

Aku butuh bukti dan saksi. Papa adalah salah satu korban segaligus saksi. Namun, ia masih koma. Lalu Nayla menghilang bagai ditelan bumi. Entah harus kucari ke mana. Jay juga sudah membantu, sampai pergi ke rumah Omanya Nayla di Bandung, tetapi tak ada jawaban yang memuaskan.

Dua AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang