Dua Ayah (10)

374 50 6
                                    

"Papa ...." Aku mencium punggung tangannya. Meskipun kemarahan di dada ini masih ada, tetaplah seorang anak harus menghormati orang tuanya.

Aku duduk di hadapannya.

"Lagu yang menyentuh. Aku tau siapa yang kamu tuju." Mamandangku dengan lekat. Ia mendesah.

"Dia selalu ada di hatimu, meskipun sudah dua puluh tahun berlalu. Pria itu tak bisa tergantikan bahkan aku sekalipun," ujarnya dengan sorot mata yang menunjukan rasa iri.

"Sudahlah tidak usah dibahas," kataku.

"Apa aku juga kau rindukan?" Papa kembali menatap, kali ini lebih lekat.

Tentu saja, ada rindu untukmu. Hanya saja, ego membuatku memilih tidak menjawab pertanyaannya.

"Sudah tiga bulanan tidak menelpon apalagi ke rumah. Kenapa?"

Aku bersandar di punggung kursi.
Ya, sudah tiga bulanan tidak mengunjunginya kareba terlalu sibuk dan demi menghindari konfli dengan Randi.

"Bahkan aku tidak kau ajak ke acara penting itu?"

"Tidak terlalu penting," sahutku datar.

"Jika bukan Nayla yang mengatakannya
Aku tidak tahu kalau kau menjadi orang yang berjasa pada lingkungan. Selamat!"

"Bukan apa-apa, hanya reward. Tidak ada yang istimewa. Aku hanya seorang pengumpul sampah dengan masa depan suram," ujarku dengan nada sinis. Pak Raihan merasa tersindir.

"Aku juga tidak istimewa, makanya tidak penting dikabari." Ia membalas dengan sindiran pula, dan membuat dadaku nyeri.

"Andai dia di sini, kau pasti mengajaknya. menyaksikan sang anak menerima penghargaan atas kerja kerasnya. Bukan begitu?"

"Pa ... ayolah, berhenti menyindir."
Protesku. Seharusnya aku yang marah. Ya, karena dia sudah banyak berbohong.

"Aku rindu putraku."

"Papa punya Randi dan Vika. Mereka anak kandung Papa 'kan?"

"Bukan mereka yang kurindukan. Tapi ... Usman."

"Anak adopsi."

Papa tertegun. Bibirnya terkatup. Emosi mulai tersulut antara kami. Beginilah jika bertemu dengannya, selalu saling sindir dan berakhir dengan amarah.

Aku pergi dari rumah saat kuliah semester empat. Suasana yang tidak nyaman dan juga kebohongannya membuatku memilih hidup sendiri. Mengontrak rumah kecil. Lalu pelan-pelan membangun usaha sambil bekerja part time di kafe. Meski tahu setiap bulan uang itu masuk ke rekeningku. Tetap saja memilih bekerja untuk biaya tambahan.

Mengubah sampah plastik atau kardus menjadi barang bernilai seni dan bermanfaat itu yang kulakukan. Berawal dari membuat souvenir unik yang sering dipesan oleh teman-teman, perlahan itu menjadi usaha. Selain nge-band dari kafe ke kafe, usaha souvenirku makin maju.

Punya dua pekerja untuk awal usaha, hingga sekarang memiliki belasan  pekerja yang rata-rata anak-anak putus sekolah, sisanya beberapa wanita dan pria dewasa.

"Ya, adopsi. Tapi ... bagiku kamu adalah anakku," ucap Pak Raihan sedikit tegas.

Saling diam. Hanya terdengar lantunan lagu In My Place milik Cold Play dari panggung.

Nayla menghampiri kami lalu duduk di sebelahku. Menyapa papa.

"Berantem lagi, ya?" Nayla memandangi kami bergantian. Dia paham kondisi hubunganku dengan papa.

"Tetangga gak usah terlalu kepo," ujar papa mencoba bercanda. Namun, terdengar garing di telingaku sementara Nayla tertawa.

"Kamu betah aja sama Usman. Nempel terus sama dia."

Dua AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang