Dua Ayah (17)

331 45 9
                                    

Mata itu, memandang lekat padaku. Tatapan yang kurindukan. Acho dan temannya mengumpat, menarik tubuh ini. Lalu, mendorong hingga tersandar di tembok.

"Hah, jadi selama ini kamu apakan Ayahku?!" Tanganku terkepal, napas memburu dengan detak jantung yang tak karuan.

Acho menyeringai.

"Akhirnya Usman bertemu dengan Ayah idiotnya," ujar Acho, mengejek. Ia terpingkal. Hal ini membutku merasa seakan kembali ke dua puluh tahun silam.

Aku benar-benar marah. Ayah mencoba bangun, tapi terjatuh lagi.

"Mari kita bernostalgia, Usman!" Acho menatap dengan pandangan mengejek.

Aku bergegas ke hadapannya dan menghantam hidung lelaki itu. Perkelahian pun terjadi.

Teman  Acho memegangi tanganku dari belakang, saat melihat bosnya itu mulai kualahan dengan seranganku.

Aku yang sudah mulai lemas, berusaha membebaskan diri. Namun, Acho meninju perutku hingga tiga kali. Rasanya ingin muntah. Sakit. Kemudian langkahnya tertahan saat hendak memukulku lagi.

"Jangan pukul!" Ayah memegangi kaki Acho.

"Diam kamu idiot!" Ia menarik kakinya dengan kuat hingga terlepas dari cengkraman Ayah. Lalu ia menendang dagu pria itu.

Aku berteriak, marah. Lelaki kurus tapi bertenaga cukup kuat ini terus memegangiku. Namun, akhirnya bisa lepas setelah berhasil kuhantamkan kepala ke wajahnya. Ia mengerang dan mundur beberapa langkah.

Aku berlari mendekati Ayah dan mencoba membantunya berdiri.

Hampir saja Ayah berdiri, Acho menendang punggungku hingga aku terjerembap ke tanah.

Kakinya menginjak tangan kananku dengan keras hingga aku mengerang.

"Berhenti!!!"

Seseorang berteriak dan terdengar sedang berlari. Ia mendorong tubuh Acho.

"Eh, ngapain kamu ke sini?!" Acho marah.

"Om kelewatan!!!"

Aku kenal suara itu, Melda.

"Ayo bangun!" Melda membantuku berdiri, tapi aku menolak.

"Aku bisa sendiri," ucapku dengan tertatih berusaha bangkit. Mengusap darah yang menempel di bibir.

"Banci, dibantu sama cewek!" hina Acho. Aku ingin menyerang kembali, tapi teringat ayah.

Melda menatapku iba. Aku berlalu dan menuntun ayah berdiri. Air mata pria itu menggenang dan wajahnya lebam.

"Kalian perbudak Ayahku?!"

Acho menyeringai. Melda masih berdiri tak jauh dariku.

"Dan kamu ...." Aku menatap tajam Melda," Ternyata, kamu tau Ayahku di mana!"

"Gak gitu Usman!" bantah Melda. Ia menggeleng dan mengatakan tidak tahu soal ayah sama sekali. Namun, emosi yang tengah menguasai diri ini menuduhnya menyembunyikan kejahatan Acho.

"Bohong!" sanggahku, membuat kedua bahu gadis itu sedikit terangkat. Kedua mata indah itu, berkaca-kaca.

"Kalian cuma memanfaatkanku."

"Gak, Man ...."

Melda terisak.

"Apa malam ini juga kamu menipuku dengan meminjam uang agar lepas dari jeratan Jamal?"

"Aku gak nipu kamu. Sumpah, uang itu agar aku tidak dijual oleh Ibu dan Omku!" Suaranya bergetar, mata itu nanar menatap sang paman yang tampak tidak bersalah.

Dua AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang