Dua Ayah (4)

404 40 1
                                    

Ayah ingin mengajakku pergi meninggalkan rumah agar orang yang siang tadi datang  tidak bisa menemukanku. Namun,
nenek mencegah rencana putra istimewanya itu.

"Itu akan menambah masalah," ujar nenek dengan suara parau.

"Tapi ... aku gak mau mereka mengambil Usman dariku." Ayah melingkarkan kedua tangannya ke bahuku.

"Kita ...," nenek menghela napas," bisa di penjara, Dul!"

"Penjara?" Ayah bingung.

"Di sana, kita dikurung. Gak boleh pergi ke mana-mana. Apa kamu mau?"

Nenek menjelaskan kepada ayah layaknya sedang menerangkan sesuatu kepada seorang anak kecil.

"Mmm ... ng-nggak mau, Mak," sahut Abdullah. Tangannya gemetar.

"Nek, kenapa mereka mau membawaku ke panti?" tanyaku dengan kedua netra yang mulai memanas.

"Karna kami tidak layak mengadopsimu."

"Adopsi itu apa?" tanyaku yang memang tidak paham dengan kata tersebut.

Nenek menarik napas," Adopsi itu ... dianggap sebagai anak oleh orang lain. "

"Nenek dan ayah bukannya sudah mengadopsiku?"

Perlahan wanita berambut ikal itu menggeleng."Tidak Man, kami dianggap tidak ikut aturan. Ayahmu tidak layak menjadi orang tuamu. Selain miskin, dia memiliki masalah mental, hal lainnya tidak memiliki surat resmi dari pemerintah ditambah dengan tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur, " jelasnya dengan wajah penuh kesedihan.

Aku mendongakan wajah ke ayah. Seperti biasa, mulutnya sedikit terbuka dan bola mata hitam itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Ia kebingungan sekaligus ketakutan.

"Tapi, tadi orang itu kasih nenek surat yang katanya harus diisi?" Aku masih bingung.

"Betul, tapi ... itu hanya basa basi. Sebenarnya dia sudah tau, kita gak akan sanggup memenuhi syarat pengangkatan anak," ujarnya yang  kembali terisak.

"Usman gak mau ke panti, Nek ...."

Aku menangis, ada ketakutan yang amat hebat menyergap hati. Membayangkan akan terpisah dengan mereka berdua yang selama ini merawat dan menjagaku dengan cinta yang tulus. Dada ini terasa sesak saat memikirkan perpisahan.

"Usman ... apa kamu mau ayah dan nenek ditangkap polisi?" tanya nenek.

Aku menggeleng. Tentu saja tidak mau melihat mereka di penjara.

"Makanya ikuti apa yang mereka mau."

Tangisan kami semakin menjadi. Bertiga menangis bersama. Aku memegangi tangan ayah yang terasa dingin. Ia meraung seperti bocah yang tak rela mainannya diambil.

"Di sana kamu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kalo sudah ada yang mengadopsimu, itu akan lebih baik lagi. Nenek berdoa semoga mendapatkan orang tua angkat yang mencintaimu dengan tulus," kata nenek dengan suara yang berat.

"Apa kita bisa bertemu?" tanyaku.

"Ya,  bisa. Ada waktu kunjungannya," jawab nenek.

Aku menangis lagi begitu mendengar jawaban nenek barusan. Hanya akan bertemu dengan waktu yang ditentukan. Tidak lagi bisa tidur bersama ayah, bermain bersamanya. Memandangi wajahnya saat menjelang tidur. Itu sangat menyedihkan.

*****
Jalanan pagi ini tertutup asap. Udara terasa tidak enak. Sepertinya si jago merah makin menjadi. Subuh tadi,  saat nenek menyetel radio aku dengar berita bahwa hutan di Bukit Soeharto dan beberapa hutan lainnya terbakar dan sulit dipadamkan. Api semakin menggila karena tanah Kalimantan yang mengandung batu bara semakin memperparah kebakaran hutan.

Dua AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang