Dua Ayah (16)

355 45 7
                                    

Aku terus mengikuti motor itu. Melewati pelabuhan, kemudian melintasi jalan Minyak. Suasananya sepi, tidak terlalu banyak kendaraan yang lewat, sebelah kiri akan tampak deretan kilang minyak raksasa. Diselingi pepohonan yang dulu kuingat rimbun sekali, tapi sekarang tidak terlalu. Sisi kanan pun terdapat deretan pepohonan dan perkantoran pertamina.

Jalan hanya diterangi lampu berwarna kekuningan. Pengendara di depanku itu terlihat santai, berharap ia tak menyadari jika sedang kuikuti.

Motor terus melaju, hingga tanpa terasa sudah memasuki kawasan Pandan Sari. Di tempat ini, dulu aku dan Paloi pernah mengamen.

Terus saja kuikuti hingga masuk ke kawasan Kampung Baru yang dulu sangat terkenal wilayah texas karena banyak preman  di tempat ini.

Ia berbelok ke kiri, lalu masuk ke sebuah gang dan melewati jalan sempit.

Aku ikut masuk ke jalan yang hanya ada cahaya rembulan saja. Motor itu berhenti.

Lelaki tinggi dan kurus itu turun dari motor. Ia menghadangku.

Sial, rupanya ia tahu jika sedang kuikuti.

Ia menyeringai," Kenapa ikutin aku, Ces?"

Aku mendekatinya dan menunjukkan sketsa wajah ayah dari ponselku. Wajah lelaki itu terlihat biasa saja, datar.

"Kenal?"

"Gak," sahutnya. Dalam cahaya remang-remang itu aku menyorot tajam kepadanya. Menawarkan sejumlah uang. Namun, pria itu bergeming.

"Kenapa tanya aku?"

Aku menceritakan soal kejadian di pasar kemarin pagi. Ia terkekeh.

"Ada banyak yang berhelm kayak punyaku," katanya dengan wajah menahan tawa.

"Jaketmu juga membuatku yakin, kamu orang itu!"

Ia mendesah, tampak kesal. Lalu menerima tawaranku.

"Aku akan berikan uangnya, asal ... beritahu keberadaan Ayahku!"

"Beres," jawabnya. Ia naik ke motor dan memintaku mengikutinya.

****
Kami sampai di sebuah bangunan tua, masih di kawasan Kampung Baru. Dekat dengan laut dan agak jauh dari rumah penduduk.

Ia menyuruhku menunggu sebentar. Aku menurut saja. Sudah tak sabar bertemu ayah.

Pria itu masuk dan sekitar lima menit menunggunya. Tiba-tiba, aku merasakan sebuah pukulan keras menghantam kepalaku.

****
Aku membuka mata, pelan-pelan. Sedikit menyipitkan netra yang tertimpa cahaya lampu.

"Syukur, kamu sadar," ujar sebuah suara yang tak jauh dari tempatku terbaring.

"Mel ...?" Aku kaget, Melda ada di samping ranjang. Ia meletakkan secangkir minuman di nakas. Gadis itu tersenyum. Sedangkan aku masih bengong. Mengumpulkan kesadaranku.

Perlahan duduk di ranjang sembari memegangi kepala bagian belakang yang terasa nyeri.

"Kamu pingsan, lalu ...."

"Lalu, aku menolongmu," sahut sebuah suara yang mengejutkan kami. Jamal?!

"Hallo, Bosku," sapanya dan mendekat ke ranjang," Usman Alfiansyah, pengusaha muda barang bekas dengan beberapa cabang toko souvenir, juga kafe, dan ... pemerhati lingkungan. Waw ...." Ia tersenyum seakan kagum padaku.

Tahu dari mana tentang diriku?

"Hand phone dan uang di dompetmu hilang, sepertinya ...." ujar Jamal.

Aku terperangah. Meraba kantong celana jeansku dan jaket. Ya, tidak ada.

Aku mendesah dan mengucap istighfar dalam hati.

Dua AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang