Malam ini aku nekat ke rumah Melda. Ayah tidak ikut. Ia istirahat di rumah.
Aku tahu Melda tampak ketakutan. Ia tergagap berdiri di ambang pintu saat melihat kedatanganku.
"Kamu ...."
"Aku ingin bertemu Bapak dan Ibu kamu," ujarku mantap. Ia masih berdiri, tangannya tampak gemetar.
"Aku ... keponakan Acho."
"Bukan anaknya 'kan? Bapak kamu toh masih ada? Urasanku sama Bapak kamu, bukan Acho!" tegasku. Gadis itu menggigit bibirnya, masih tampak takut.
"Ijinkan aku masuk!"
Ia menatapku beberapa detik. Ah, Mel ... jangan tatap aku seperti itu. Sorot matamu menembus jantungku.
"Selain karna mau menolongku. Adakah alasan lainnya?"
Aku paham, perempuan tak cukup dengan tindakan. Kadang lebih suka disertai ungkapan. Sebuah pernyataan. Dasar cewek.
"Man ...."
"Kalo kamu mau tau alasan lainnya. Segera ijinkan aku masuk dan melamarmu. Setelah menikah, kamu akan tau kenapa."
Melda makin terlihat bingung.
"Kamu meragukan keseriusanku?" Aku menaikan satu alisku.
"Ng-nggak." Melda menggeleng.
"Siapa, Mel?" tegur suara kasar dari dalam.
"Hmmm, itu ...."Melda gelagapan.
"Usman, " sahutku lantang. Melda melotot kepadaku.
Paloi baru saja muncul dan berdiri di sebelahku.
"Maaf Ces, tadi anakku yang nomer tiga ngerengek mau ikut. Kubilang aja, aku mau ke markas Mak Lampir. Diam sudah dia," terang Paloi dengan suara setengah berbisik tepat dekat telingaku.
Antara ingin ketawa dan menginjak kaki Paloi, kalau bicara suka seenaknya.
Melda menatap Paloi dan sahabatku ini hanya tersenyum sembari mengacungkan dua jari ke arah gadis itu. Mungkin tadi dia mendengar ucapan sahabatku ini.
"Mau apa ke sini?!" Tiba-tiba ibu Melda sudah berdiri di samping putrinya dengan wajah garang.
"Ibu, boleh Usman masuk dulu?"
"Hhh," dengus wanita itu, kasar. Matanya melirik ke paper bag yang kubawa. Lalu ia mengangguk dan menyuruh masuk.
"Siapin jurus Man, jangan takut ada Paloi yang akan bantu," bisik Paloi sebelum kami masuk ke rumah Melda.
Ibunya Melda duduk berseberangan denganku dan Paloi. Sementara gadis yang akan kulamar, pergi memanggil sang ayah.
Selang beberapa menit, lelaki kurus dengan wajah lesu muncul bersama Melda. Pria itu duduk dengan hati-hati, tubuhnya masih lemah karena beberapa pekan lalu baru dirawat di rumah sakit.
Dua adik Melda yang masih berusia sekolah dasar sedang menonton televisi tak jauh dari tempat kami duduk.
Melda pergi ke dapur. Aku pun membuka percakapan. Kuserahkan paper bag berisi tiga kotak kue Jenebora, dengan cepat wanita bermata tajam itu mengambilnya.
Aku mulai bicara lagi, memperkenalkan diriku pada ayah Melda. Karena kami memang belum berkenalan, saat itu lelaki ini pingsan dan segera kubawa ke rumah sakit.
Melda datang dengan nampan berisi empat cangkir teh hangat. Meletakkan di meja dan mempersilakan kami untuk minum. Ia melirikku sesaat, bisa kulihat pipinya yang merona.
"Saya, ingin melamar Melda," ucapku dengan mantap. Mata ibu Melda membulat. Ia ingin buka suara, tapi tangan suaminya bergerak menyentuh lengannya. Ia terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Ayah
General FictionSejak kecil, ia hidup dengan lelaki ber- IQ jongkok. Menjalani kehidupan sebagai pengamen. Lalu, ketika ikatan batin antara ia dan ayah "idiot-nya" semakin kuat, takdir memisahkan mereka. Ia harus tinggal pada ayah yang lainnya. Bertahun-tahun ia la...