Aku menoleh ke arah wanita berambut pendek ala Lady Diana yang berdiri di sampingku. Tentu saja ingat.
Dia yang beberapa bulan lalu datang bersama temannya ke rumah. Mengobrol di depan rumah dengan serius bersama nenek dan ayah.
Dia menatapku sesaat sebelum pergi meninggalkan rumah waktu itu."Kamu ... mengamen lagi?"
Aku mengangguk pelan. Wanita itu mendengus.
"Aku sudah peringatkan nenekmu untuk tidak memperkerjakan anak-anak di bawah umur," terangnya dengan wajah sedikit kesal.
"Mmm, nenek tidak menyuruh mengamen. Tapi ... saya sendiri yang mau," jelasku dengan suara gemetar.
"Sudahlah, kenyataannya adalah ... kamu mengamen!" Suaranya terdengar tegas.
"Bukan nenek yang menyuruh saya!" tegasku.
"Ayo, ikut denganku. Kita perlu bicara!" Ia memegang tanganku.
Rasa takut membuatku melakukan hal nekad. Tangan wanita itu kugigit. Ia berteriak dan kemudian melepaskan genggamannya dari tanganku.
"Hei, anak sialan!" umpatnya sambil meringis menahan rasa sakit. Aku berlari meninggalkan wanita yang terus memanggilku.
Berlari secepat mungkin tanpa ingin menoleh lagi. Entah pikiran macam apa yang ada di benak ini sehingga berani menggigit orang itu, berharap ia tidak membawaku ke kantor polisi dan kemudian memberi tahu nenek bahwa cucunya mengamen.
Setelah merasa cukup jauh dari wanita tadi, aku duduk di bawah pohon ketapang. Mengatur napas yang tidak teratur. Berusaha menenangkan jantung yang berdetak kencang. Setelah terasa tenang, aku lanjut ngamen.
Seperti hari kemarin, aku pulang ke rumah saat azan zuhur berkumandang. Masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan. Untung saja nenek di kamar mandi. Aku langsung masuk ke kamar dan menyandarkan gitar ke dinding kemudian menaruh uang sebesar tujuh belas ribu hasil ngamen tadi di bawah lampit. Lalu, bersiap-siap untuk pergi ke surau.
Usai shalat zuhur aku kembali ke rumah dan melihat sebuah motor bebek terparkir di depan rumah. Sepertinya ada tamu.
Ketika telah sampai di depan pintu aku terbelalak saat melihat wanita yang beberapa jam lalu tangannya kugigit. Ia melemparkan senyum kepadaku.
"Masuk Usman!" pinta nenek. Aku bisa menangkap ketegangan di wajah tua itu.
"Hai, kita ketemu lagi," sapanya sok akrab.
Aku duduk di sebelah nenek dengan perasaan yang campur aduk. Takut dan bingung. Dia mungkin saja sudah menceritakan bahwa aku tadi mengamen. Tak menyangka dia akan datang ke rumah ini. Ah, dasar pikiranku begitu pendek. Kenapa tadi tidak terpikirkan dia bisa datang ke sini.
"Maafkan kedatanganku kemari bukan hanya karna masalah ngamen saja. Tapi ...."
Matanya melirik ke arah nenek, ia menghela napas sembari mengeluarkan sesuatu dari tas besarnya. Benda dari kertas sedikit tebal dengan warna hijau. Ia menaruh benda itu di karpet dan membukanya, lalu tampak di dalamnya ada beberapa kertas.
"Hari ini, sesuai janjiku beberapa waktu lalu bahwa akan datang lagi dengan beberapa surat yang harus anda baca dan diisi." Wanita bermata belo itu menyodorkan kertas-kertas itu kepada nenek.
"Anda bisa baca?"
"Bisa," angguk nenek dengan suara parau.
Wanita berusia tiga puluh tahunan itu meminta nenek membaca satu kertas yang ada di bagian paling atas. Beberapa waktu berlalu dalam keheningan.
Nenek terlihat sedih setelah membaca kertas di tangannya. Kertas yang dipegangnya tampak bergetar. Wanita paruh baya itu meletakan kembali benda tipis tersebut ke tempat semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Ayah
General FictionSejak kecil, ia hidup dengan lelaki ber- IQ jongkok. Menjalani kehidupan sebagai pengamen. Lalu, ketika ikatan batin antara ia dan ayah "idiot-nya" semakin kuat, takdir memisahkan mereka. Ia harus tinggal pada ayah yang lainnya. Bertahun-tahun ia la...