Balikpapan.
Kota tempatku dilahirkan. Di sini banyak kenangan yang terukir. Dua puluh tahun berlalu, kini aku kembali untuk mengenang masa kecil sekaligus mencari dua orang tercinta yang telah memberi banyak kasih sayang.
Aku menikmati perjalanan. Memandangi deretan ruko, rumah makan, dan toko sembako dari balik kaca jendela taksi. Banyak bangunan-bangunan baru. Restoran dan mall bertebaran.
Tak seperti dulu, hanya ada satu mall yang kami sebut BC ( Balikpapan Center). Terletak di pusat kota. Salah satu tempat favorit para kaula muda nongkrong di hari minggu kala itu. Aku dan Paloi pernah ke sana beberapa kali, hanya sekedar berkeliling sambil menghilangkan keringat yang membasahi tubuh kami karena habis mengamen.
Sekarang BC banyak saingan sepertinya. Aku melintasi mall lama itu, tersedia jembatan penyeberangan yang terhubung dengan mall tertua di kota ini.
Taksi berbelok, memasuki kawasan yang dulu sering kujelajahi untuk mengamen. Jalannya masih seperti dulu, bersih.
Ada yang hangat di pipiku.
Aku rindu kota ini juga ayah dan nenek.*****
IM guest house, adalah usaha milik kawanku saat kuliah. Dua tahun ini, menetap di Balikpapan bersama istrinya. Bekerja di perusahaan minyak dan membangun usaha penginapan ini. Ia menyambutku dengan ramah. Setelah mengobrol sebentar, aku masuk ke kamar yang sudah disediakan.Aku merebahkan diri ke ranjang. Membalas chat dari Nayla. Mengabarkan bahwa aku sudah sampai dengan selamat. Tak sampai sedetik ia membalas dengan emoji tersenyum.
Memberitahu papa melalui pesan WA. Beliau membalas dengan menuliskan hamdalah.Hari ini, aku ingin menemui Paloi. Apa dia masih tinggal di tempat yang dulu?
Bertahun-tahun tidak tahu kabarnya. Mencoba mencarinya di media sosial seperti Face Book, tidak ada.
'Loi, aku datang. Semoga hari ini kita bisa bertemu.' Aku berujar dalam hati.
****
Selepas ashar aku pergi ke tempat yang pernah kutinggali dulu. Menikmati pemandangan kota dari balik kaca jendela angkot.
Serasa seperti naik mobil pribadi. Kebetulan hanya aku penumpang. Menikmati lagu yang disetel melalui layar LCD, sehingga bisa menonton video klip lagu pop yang tengah diputar.Aku berhenti di depan sektor polisi. Menyeberangi jalan di zebra cross yang telah memudar warna putihnya.
Masuk ke dalam gang. Seketika memori masa kanak-kanak bertebaran diingatan. Saat berlomba lari dengan ayah, bersenda gurau dengan Paloi, membawa peralatan jualan nenek. Hingga gadis kecil yang menangis di gang ini karena terjerembab lalu dijewer oleh kakaknya Acho.
Aku tersenyum dengan mata yang berembun. Seorang gadis berkulit kuning langsat dengan rambut terikat ke belakang menatap dengan aneh. Sesaat kami saling pandang.
"Kenapa? Aku gagah, ya?" candaku.
"Ishhh, kepedean," sahutnya.
Aku seakan dejavu dengan peristiwa ini, perkataanku tadi seakan pernah kuucapkan.
Gadis bertubuh mungil itu pergi dari hadapanku dengan tak acuh. Aku pun kembali melanjutkan langkah.
Sampai di depan rumah Paloi, aku berdiri mematung. Rumah itu, sedikit berbeda. Lebih rapi, berdinding bata. Namun, sepi.
Kualihkan pandangan ke rumah yang dulu menjadi tempat tinggal nenek dan ayah. Sudah berubah. Di sana, bangunan dua tingkat, berdinding beton dengat cat putih mendominasi berdiri dengan kokoh. Terdapat enam pintu. Tiga di lantai bawah dan tiga di atas. Sepertinya menjadi tempat kost.
Kenangan itu kembali, di mana ayah sering menggendongku di pundaknya. Berputar-putar laksana pesawat yang sedang terbang. Nenek bediri di pintu, memandang dengan senyumnya yang penuh ketulusan. Ah, lagi-lagi hati ini gerimis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Ayah
General FictionSejak kecil, ia hidup dengan lelaki ber- IQ jongkok. Menjalani kehidupan sebagai pengamen. Lalu, ketika ikatan batin antara ia dan ayah "idiot-nya" semakin kuat, takdir memisahkan mereka. Ia harus tinggal pada ayah yang lainnya. Bertahun-tahun ia la...