01

3.6K 194 10
                                    

Kawasan luas terbentang indah selalu menjadi objek seorang untuk menikmati betapa megah dan istimewanya ciptaan Sang Pencipta.

Terlebih saat hembusan angin datang, memberikan sensasi menggelitik dari terlepasnya anak rambut saat beberapa helai menyentuh bagian leher dan wajah.

Tiada kata yang bisa mengekspresikan kebahagiaannya sekarang, menatap biru lautan yang tiada berujung berhasil membuat rasa lelahnya hilang. Suara deburan ombak dan burung berkicau menjadi pelengkap rasa senang.

Tetes demi tetes air keluar dari mata indahnya, entah dia menangis karena terlampau senang akan keindahan yang dirasakan sekarang, atau karena ingatan masa lalu yang mendobrak masuk dan memaksa memutar beberapa kenangan indah yang menyesakkan hati.

Dikalau boleh, ingin rasanya ia kembali kemasa dimana dia tidak mengerti apa itu cinta, rasa sakit dan rasa menahan rindu, jika tahu betapa beratnya itu semua.

Dia menghela napas percuma, semuanya sudah dilewati dengan sangat mulus. Tanpa ada gangguan sedikit dari setiap hari yang dilewati dengan rasa sakit, rasa rindu karena sebuah cinta yang tak berarti.

Apa itu bisa dibilang cinta, saat usianya berumur 17 tahun? Dimana semua masih abu-abu dengan pemikiran yang belum matang, saat rajukan minta dibelikan ice cream vanilla saat menjadi permohonan yang harus dituruti oleh lelakinya.

Lelakinya?

Tidak. Maksud dia teman laki-laki yang berhasil membuatnya jatuh.

Jatuh kedalam parit terdalam sehingga membuatnya tersadar, betapa menyedihkan dirinya mencintai sendiri, memendam rasa tanpa disadari membuatnya nyeri hati, menerima kenyataan pahit saat mengetahui bahwa lelaki yang dicintainya pergi tanpa pamit.

Itu, hanya cinta monyet. Benar, hanya sebuah perasaan kepada siswa laki-laki, yang nantinya akan berakhir setelah menyandang status sebagai pelajar, sebelum nantinya menjadi seorang mahasiswa aktif.

Hanya sampai situ. Percayalah, hal seperti ini sering terjadi dikalangan para siswa yang sedang mengalami masa-masa puber saat SMA.

Dan dia, tidak mempercayai bahwa sudah 5 tahun lebih menjalani kehidupan tanpa laki-laki yang selalu bersamanya dulu, dirinya sesekali merindu, ingin bertemu tapi terhalang oleh sang waktu.

"Lalu, sampai kapan kau akan diam terduduk dibawah rintik hujan yang mulai turun, Chaeng?."

Tidak mendapati sautan dari temannya, Ellie berdecak sebal. Sedari tadi, dia sudah memanggil Chaeyong untuk masuk kedalam rumah karena rintik hujan mulai turun, namun perempuan bersurai coklat itu tetap saja tidak bergeming ditempatnya.

"YAA! Ryu Chaeyong!!."

Tersadar dari lamunan masalalunya, Chaeyong menoleh seraya refleks menyahut, "Ah! Ada apa?. "

"Apa kau ingin sakit? Diamlah disitu jika ingin terserang, flu!."

Tidak ambil pusing, Chaeyong langsung bangkit dan berlari kecil menuju sumber suara.

Mendengar suara gemuruh petir lebih baik sepertinya, daripada mendengar omelan Ellie yang tak berujung nanti.

"Apa yang kau lakukan disana, hm?."

Let It Be ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang