Hinggapnya dua burung pada ranting pohon yang menaungi dua pilar, menjadi sambutan atas kedatangan pribadi cantik yang jarang menengok pada ladang yang dipenuhi nisan, dengan coretan nama terpampang jelas disetiap ukirannya.
Gaun hitam yang dikenakan serta sebotol soju dengan tiga cup gelas mini, menjadi teman seperjalanan menuju TPU (tempat pemakaman umum).
Helaan napasnya keluar, saat kesadaran akan mata telanjangnya memperhatikan setiap nisan yang bersejajar dengan rapih dipemakaman ini, dirinya menarik diri duduk dihadapan dua batu bertuliskan;
Ryu Byunsik
Lahir: 12 April 1980
Wafat: 20 Agustus 2004Seo Hyuna
Lahir: 21 September 1983
Wafat: 10 Januari 2006Lama menatapi dua tulisan secara bergantian, Pribadinya menunduk menggenggam kedua tangan erat. Tangisnya muncul lagi, untuk yang kesekian kali pada minggu ini.
"Ibu." Lirihnya dengan suara yang gemetar.
Pikirannya berputar mengulang memori lama yang sengaja dia hapus dalam benaknya, segala kenangan akan keluarganya barang kali tidak sedikit selalu meremukan hati, jika terus menerus diingat betapa rindu selalu datang tanpa permisi.
"Ayah, kau tahu, seseorang berhasil mengambil hatiku. Dia mengajaknya bermain walau sesaat, sebelum bencana yang selalu kau ingatkan padaku datang." Tuturnya menatap nisan sang ayah.
Angin yang menabrak dirinya membuat ketenangan hati memudar sedikit, dia memandang kosong lataran TPU sambil berucap.
"Dulu, kau berkata bahwa ada masanya kau harus memilih 'orang yang kau sayang pergi, atau tinggal menyelamatkan keluarga dengan merelakan kebahagiaanmu', Dan ternyata, diantara pilihan tersebut sangat menyakitkan sekedar untuk dipikirkan, Ayah. Sampai pada akhirnya aku mengambil keputusanku sama seperti dirimu lakukan."
"Memilih tinggal, dan merelakan kebahagiaanku. Bukankah aku hebat, Ayah, Ibu?."
Dia tersenyum simpul, mengambil sebotol soju dan menuangkan isinya pada tiga gelas yang berada didepannya. Menaruh satu gelas dekat nisan Ayah dan satu gelas lagi dekat nisan Ibunya.
"Rasanya hambar, tidak ada kesan manis sedikit pun." Ucapnya menatap gelas yang baru ditenggak isinya tadi. "Sama seperti minggu terakhir ini Bu, tidak ada yang dapat mengubahnya menjadi manis dalam keseharianku."
Tangannya bergerak memainkan gelas yang dipegang, "Ibu, aku mencintai Taehyung. Tapi pantaskah aku bersamanya? Dia, terlalu baik untuk kumiliki. Sangat sayang jika dia harus benar-benar bersamaku, aku berusaha merelakan dia bersama yang lain tapi sayangnya cincin ini mengikat jelas hatiku yang tidak bisa pergi darinya."
"Jika bersamanya dapat membuatku sebahagia itu, mengapa kesedihan harus turut andil didalamnya? Jika kesedihan itu datang saat bersama dengannya, mengapa kebahagiaan harus singgah menggoyahkan hati agar tidak melepasnya."
Dia menunduk, hatinya remuk dan sakitnya tidak bisa dikatakan dengan ekspresi atau ungkapan.
Sejatinya tubuh ini diharuskan berduduk tegak dengan bahu siap menahan rintangan yang datang, lemahnya terlihat saat dua bahu tegak itu mengendur karena situasinya.
Chaeyong menghela napas, "Rasanya ingin sekali aku membuat janji pada Tuhan, saat dua dari kebahagiaanku sudah direnggut olehnya, maka jangan juga dia merenggut satu orang yang sudah mengikatkan tali pada jalur hidupku, jangan juga dia merenggut kebahagiaan keluarga baruku, jangan juga dia membuatku hancur lagi dalam satu kali tembakan kenangan masa lalu yang meruntuhkan hatiku dalam satu waktu bersamaan. Apa bisa ibu? Aku sudah sangat lelah, dengan semuanya, sungguh, aku tidak bercanda bahwa aku lelah dengan semua ini, Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Be ✔️
FanfictionChaeyong tidak pernah terpikir akan terjebak dengan pekerjaan yang berhasil membawanya masuk kedalam jurang kebohongan yang dibuat Taehyung. Lingkaran hitam sudah terlalu dalam menariknya masuk, sehingga dia tidak bisa keluar dari tempat itu. Taehyu...