⚽️ Passing

185 30 10
                                    

Pukul 5 sore namun langit sudah segelap maghrib. Zera bergegas mengeluarkan Mark-sepeda gunungnya yang telah kembali beberapa hari lalu setelah dua hari menginap di bengkel. Cewek itu mengayuh sepedanya keluar komplek dan berjalan lurus kearah Utara.

Rambut sebahunya dikuncir apel, separuh bagian rambutnya ia biarkan diterpa angin yang sore ini lumayan kencang. Ah, jangan lupakan kantung plastik menggantung di sepedanya yang berisikan jas hujan untuk jaga-jaga.


"We born to fly, so let's keep living till it all falls down.." Suara perunggu mengiringi setiap kayuhannya menuju lapangan di pinggiran kota.

Sesampainya, Zera langsung mendudukkan diri di gazebo, dekat dengan lapangan mini yang dikelilingi pagar besi disekitarnya. Melihat sekilas anak-anak berkisar sekolah dasar sampai SMP tengah berlarian mengejar bola. Ada Malik disana.

Ya, sebelum ibunya mengomel, Zera lebih dulu tanggap menyusul dan menunggui adiknya yang tengah berlatih bola di SSB. Padahal selesai setengah jam lagi, namun karena cuaca mendung jadi terpaksalah sebelum adik nakalnya itu kegirangan hujan-hujanan.

Sejak Bang Enzo-abang Zera kuliah di luar kota sekaligus menemani sang ayah yang juga bekerja disana, Zera tinggal di rumah hanya bersama Ibu dan Malik. Adiknya satu itu sudah mengikuti sekolah sepak bola sejak usia 6 tahun. Rasa sukanya tentu berasal dari sang abang, yang kini Malik juga mendapat dukungan dari Zera, kakak perempuannya.

Meskipun Zera sangat sering dibuat kesal oleh adiknya yang super duper nakal itu. Nakalnya tak lain karena ajaran sesat Figo. Memang dua manusia dengan usia terpaut cukup jauh itu layak disebut partner in crime.

Bukannya membela Barcelona- klub dukungan Zera, Bang Enzo, juga ayahnya, bocah itu justru kerap kali meledek bahwa dirinya fans Liverpool.

Ayolah, bagi Zera tak apa jika Malik bukan fans Barcelona. Mau Chelsea kah, MU lah, sampai Real Madrid sekalipun.. asal jangan Liverpool. Sungguh, kalau dipikir-pikir.. rival Zera sesungguhnya adalah adiknya sendiri. Liverpool adalah awal mula salah satu patah hati terbesar Zera.

Kala itu Uefa Champions League, ajang bergengsi klub sepak bola Eropa. Barcelona dipertemukan melawan Liverpool di semi final. Pertemuan terakhir kedua klub hanyalah saat pramusim yang kala itu Barcelona kalah 4-0. Dan itu hanyalah pramusim. Tidak penting tentunya. Pada leg pertama bermain di kandang, Barcelona menang dengan skor 3-0. Saat itu Zera dengan keyakinan 100% Barcelona akan melaju ke final. Namun apapun bisa terjadi sebelum 90 menit kedua yang tanpa diduga, leg kedua yang bermain di kandang Liverpool, Barcelona ter-comeback tragis dengan skor 4-0.

Kejadian itu adalah patah hati pertama bagi Zera sebagai penggemar. Meskipun tak mengeluarkan air mata barang setetespun, seperti sebongkah batu mengganjal di kerongkongan rasa kecewanya pada klub kebanggaannya sejak hampir enam tahun yang lalu sangat tergambar oleh sikapnya yang berubah murung hampir seminggu penuh setelah kekalahan tragis itu.

Bagaimana tidak? Kekalahan saat itu teramat fatal karena selangkah lagi Barcelona hampir meraih trofi UCL. Apalagi setelah itu, Barcelona kembali tumbang di final Copa Del Rey, kurang lebih disebabkan karena efek kekalahan dari Liverpool.

Apalagi kala itu bukan hanya Saga yang gencar mengolok-olok Zera, namun teman-temannya yang lain juga ikut mengejeknya. Hingga segala social media miliknya tidak membiarkannya tenang, karena timeline penuh dengan troll kekalahan Barcelona.

Oleh karena itu, Zera jarang sekali mengungkit klub apa yang Malik sukai.

"Heh, gapain lo?"

Zera hampir memekik. Suara serak khas lelaki itu mengagetkannya.

"Yaelah, Ga... 4L!" Zera mengusap dadanya, mendongak menatap wajah cowok jangkung ber-jersey putih berdiri di depannya.

Ya, jersey putih Real Madrid. Siapa lagi kalau bukan Saga. "Hah?" Cowok itu memasang raut bingung.

"Lo lagi, lo lagi!" Ucapnya mengalihkan pandangan ke sekitar lapangan. Mencari-cari keberadaan Malik yang tak kunjung keluar, padahal teman-temannya yang lain satu-persatu sudah keluar.

Zera sedikit melebarkan mata kala menemukan sosok yang ia cari keluar dari pintu lapangan. "Ck, lama banget sih, Mal. Mendung nih!"

"Sengaja. Biar Teteh pacaran dulu." Celetuk bocah bermata bulat persis seperti Zera itu asal.

Saga yang melihat kedatangan pria kecil yang menenteng sepatu bola itu agak menautkan alis. Malik membalas tatapan meneliti Saga.

"Adek lo nih? Kok beda jauh. Adek lo diem nggak kayak lo mirip bebek, ngomel mulu."

Malik yang dipuji tersenyum bangga, sedangkan Zera yang dihina justru merundung dalam hati sambil menatap dengan tatapan 'sampai rumah mati lo' pada Malik.

"Yuk pulang!" Zera berdiri dan memiting pelan leher Malik hingga bocah itu terseret pasrah.

"Yah, udah nih pacar-pacarannya?"

Sungguh, Malik lebih cocok menjadi adiknya Figo. Bukannya merasa terancam akan pelototan dari Zera, anak itu malah nyengir memperlihatkan gigi-gigi kecilnya. Sedangkan Saga yang melihat interaksi kakak-beradik yang umurnya terpaut sekitar delapan tahun itu tersenyum kecil. Sangat kecil hingga tak akan ada yang menyadari si cowok poker face itu tengah tersenyum.

"Dah Kak Saga, nanti lagi ya!" Seru Malik sambil melambai saat sudah menaiki sepeda. Bocah itu terapit oleh kedua tangan Zera yang menggenggam stang sepeda.

"Siap!!" Saga membalas lambaian itu dengan mengacungkan jempol tangan kanannya keatas.

Lah kenapa jadi sok akrab sih.. Zera membatin.

️️ ️️️️️️

**

️️ ️️️️️️

Sepanjang perjalanan, Zera mencerca Malik dengan berbagai pertanyaan yang hanya dibalas singkat oleh adiknya itu.

Misalnya tentang mengapa ada seorang Sagara Mahardika disana, yang ternyata Saga adalah keponakan dari pelatih SSB adiknya. Dan hari ini pertama kalinya ia disuruh ikut melatih anak-anak SSB sekaligus berbagi pengalaman dan skill pada Malik dan kawannya.

"Saga ngelatih apa aja emangnya?" Zera bertanya lagi disela kayuhannya.

"Kepo amat si teteh," Malik kali ini enggan menjawab. Lelaki kecil dengan rambut kecoklatan itu sangat gemar membuat Zera geram.

"Ngeselin ya? Bulan depan nggak teteh beliin jersey. Awas aja."

Ya, bagi Malik, kakak perempuannya itu sangat tidak tahu diri. Padahal sifat menjengkelkannya adalah warisan dari kakak perempuannya itu. Bahkan sebenarnya, jauh-jauh hari Malik mengenal Saga. Tentu dari cerita Figo yang mulutnya selicin pelumas kendaraan. Bayangkan saja, anak umur delapan tahun sudah diajak gosip.

Sampai anak itu tahu jelas bagaimana interaksi Zera dengan rivalnya, Saga. Namun Malik memilih diam dan menjadikan hal-hal tersebut sebagai kartu as untuk mengancam kalau-kalau kakaknya itu membuat ulah padanya. Dasar, pemikiran Malik memang sedewasa itu.

"Udah banyak," balas Malik dengan nada polos-polos menjengkelkan.

Zera mengumpat tanpa suara mendengar jawaban itu. "Wah, tau gini nggak teteh jemput. Biarin jalan sendirian. Lebih-lebih kalau sekalian diculik, beuhhh sujud syukur."

"Loh emangnya siapa yang nyuruh Teh Jeje njemput Malik?"

Benar juga. Seseorang tolong beritahu Zera dimana letak danau terdekat. Adik usilnya itu sangat ingin ia tenggelamkan.

Zera menyetir dengan satu tangan. Tangan kanannya kini terangkat, menjitak agak keras kepala adik satu-satunya itu.

️️ ️️️️️️

️️ ️️️️️️
••rivalitionship••

RIVALITIONSHIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang